Andri Setya Nugraha------7 Maret 2017, Pukul 08:02
Sebuah keniscayaan yang tidak bisa di pungkiri yakni manusia dengan kehendak bebas, hak asasi, dan akal sehat yang dimilikinya memiliki kebebasan untuk berfikir atau bertindak selama tidak bertentangan dengan norma hukum. Akal itu pula yang membuat manusia bisa membedakan mana yang baik-dan buruk menurutnya. Ya, menurutnya berarti bukan kebenaran yang mutlak. Tapi keadaan, lingkungan, pengalaman, pengetahuan, atau pendidikan dan faktor-faktor lain itu mendasari pemikiran seorang. Orientasi manusia juga akan berbeda-beda sesuai dengan apa yang ia ketahui yang kemudian menjadi keyakinan dan tujuannya. Atau dengan kata lain ideologi. Dan ideologi tidak dalam arti sebenarnya yang di pahami oleh orang pada umumnya secara teoritik. Tetapi sebuah jalan seseorang dalam memandang suatu permasalahan. Namun dapat juga seiring dengan pengetahuan dan lingkungan yang dimilikinya membuat seorang merasa memiliki kesamaan terhadap pemikiran atau ide tertentu yang menurutnya paling baik sebagai jalan penyelesaian atau cara pandang. Sehingga meleburlah pemikiran-pemikiran tiap-tiap pribadi menjadi satu kelompok tertentu: ideologi tertentu.
Ideologi dari kiri kekanan atau pemikiran apapun dimanapun letaknya, setiap orang memiliki rasio sendiri-sendiri yang tidak mungkin bisa di salahkan karena kehendak bebas dan asasi yang dimilikinya itu. Namun, terkadang sebuah ide yang diyakini secara radikal (read: dari akar), dan memiliki cita-cita sendiri yang dengan upaya keras diwujudkan dan menyebabkan pertentangan dengan yang berbeda darinya. Hal inilah yang berusaha untuk diredam dalam praktik manapun. Termasuk dalam praktik kehidupan berorganisasi. Tetapi kini, tidak ada yang benar-benar secara keseluruhan mengamini suatu ideologi tertentu. Yang ada adalah kecinderungan untuk memiliki cara pandang tertentu.
Berangkat dari rasio diatas, jangankan berbeda kelompok atau organisasi. Isi pemikiran dan ide setiap orang pun demikian berbeda. Dan bahkan jika pemikiran yang berbeda ini dibenturkan akan menyebabkan perpecahan. Inilah yang mendasari Dema Justicia membawa konsep Dema Justicia sebagai “rumah segala ideologi”. Upaya untuk mengakomodir berbagai pemikiran yang progresif dari tiap-tiap jalan pikir kader merupakan alasan yang menjadi dasar. Namun ketiadaan atau penerimaan terhadap segala ideologi dalam konsep rumah segala ideologi ini tidak berarti DEMA Justicia melepaskan dirinya sebagai organisasi tanpa pegangan. Terdapat nilai-nilai yang menjadi pegangan sebagai fundamentalism norm yakni Catur Dharma Dema. Catur Dharma Dema sebagai jalan tengah dari berbagai pertentangan yang ada dirasa dapat merangkul berbagai pemikiran dan pertentangan. Sehingga suhu organisasi menjadi kondusif.
Dalam pengertian lain, konsep rumah segala ideologi dapat juga berarti adanya pergiliran ataupun pergeseran. Pergiliran yang berarti ia menerima cara pandang tertentu, setelah berkembang pola pikir, pengetahuan, pengalaman, dan kritik terhadap apa yang dianut kemudian kecinderungannya bergeser menjadi cara pandang lain. Dan ini juga dapat dikatakan sebagai rumah segala ideologi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H