Mohon tunggu...
Andri Setya Nugraha
Andri Setya Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa FH UGM, Entrepreneur -

Merengrei samudra tanpa teori lebih dahulu..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Palestina: Harus dengan Dua Pendekatan

14 Maret 2016   14:23 Diperbarui: 14 Maret 2016   14:50 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Andri Setya Nugraha (FH UGM 2015)

Serangan terhadap Masjid Al-Aqsa di Jerusalem pada 21 Agustus 1969 oleh kelompok Zionis saat itu menimbulkan reaksi dari berbagai negara terutama negara-negara Islam. Sehingga pada 25 September 1969, bertempatkan di Rabat, Maroko, negara-negara Islam bersatu membentuk Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Saat ini OKI beranggotakan 57 negara, yang menjadikannya organisasi terbesar kedua setelah PBB yang beranggotakan 192 negara. OKI pernah menangani berbagai isu seperti PLO Jordania (1970), krisis Somalia (2008), konflik Banglades-Pakistan (1981), dan Irak (2003). Mengingat tujuan awal dari dibentuknya OKI, membuat organisasi ini memiliki “Hutang” untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di Palestina. Dan salah satu faktor tertutupnya isu Palestina adalah karena adanya konflik di kawasan Timur Tengah seperti Negara Suriah, Yaman, Irak, Iran-Saudi Arabia.

Palestina dan Israel

Pada 1897, berdiri organisasi zionis yang kemudian diikuti berdirinya pemerintahan Yahudi di Palestina pada 1917. Sebanyak 10 persen wilayah dikuasai oleh bangsa Yahudi, dan 90 persen masih dikuasai pemerintahan Palestina pada 1947. Beberapa tahun berikutnya terjadi berbagai bentuk perlawanan kepada Israel baik dari Palestina maupun Negara Arab seperti Mesir, Jordania dan Suriah. Hingga sampai pada saat ini Palestina hanya memiliki kurang dari 30 persen wilayah dan terus berkurang.

Angin segar sempat berhembus ke Palestina ketika tahun 2012, PBB menaikan status Palestina dari entitas menjadi Negara. Pada sidang umum tersebut 138 dari 193 negara setuju, 9 negara menolak dan 41 negara abstain mengenai perubahan status tersebut. Kemudian 3 tahun berikutnya tepatnya 30 September 2015 bendera Palestina berkibar di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat. Namun kenyataannya, hal itu tidak berarti apa-apa. Israel tetap melakukan invasinnya. Kemerdekaan yang sepenuhnya tidak terwujud.

Dua Macam Pendekatan

Berakhirnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa OKI, beberapa hari lalu yang menghasilkan resolusi dan Deklarasi Jakarta, yang tampaknya sebagian besar hanya memberikan tekanan dari luar terhadap Israel. Hal ini ditunjukan dengan hasil KTT Luar Biasa OKI berupa langkah konkrit yakni salah satunya boikot atas produk Israel yang di produksi di wilayah ilegal. Langkah-langkah seperti ini akan kurang efektif, karena hanya akan memberikan tekanan kepada Israel tanpa ada konsekuensi berarti yang akan menimpa Israel. Selain itu tindakan-tindakan kecaman dan penolakan ini hanya akan keluar dari negara-negara Islam anggota OKI, namun tidak menggerakan negara-negara selain negara Islam. Padahal seharusnya dapat dilakukan dengan dua pendekatan dalam upaya menuntaskan permasalahan ini. Tidak hanya dari luar, namun juga dengan upaya menguatkan dari dalam.

Menjadi sangat penting ketika OKI dapat melihat salah satu pokok permasalahan yang terjadi di internal Palestina sendiri. Situasi yang ada di Palestina kini berbeda dengan upaya perjuangan bangsa Indonesia dulu. Pasalnya, perjuangan bangsa Indonesia hanya berfokus dalam menghadapi imperialisme. Namun Palestina kini dalam perjuangannya malah terbagi menjadi dua faksi besar yang saling bertentangan dan saling serang. Faksi Hamas yang menguasai jalur Gaza, dan Fatah yang menguasai tepi barat. Kedua faksi ini berbeda ideologi secara diametral. Kelompok Hamas memiliki karakter lebih keras, tidak mau mengakui entitas Israel, ingin menjadikan Palestina sebagai negara Islam, dan tidak mau berunding. Sedangkan kelompok Fatah lebih mudah untuk diajak berunding, memisahkan masalah urusan agama dan negara atau sekuler. Meskipun antara dua faksi ini sempat bersatu pada tahun 2014, namun hanya bertahan selama satu tahun. Pemerintah Palestina saat ini pun dinilai tidak lagi memiliki wibawa dan kekuatan untuk menggabungkan “frame” kedua faksi ini, sehingga perlu pihak luar untuk melakukannya. Fatah dan Hamas harus melakukan rekonsiliasi demi Palestina. Dan ini adalah merupakan pendekatan pada sisi yang kedua. Menguatkan dari dalam untuk bersama menuntaskan akar permasalahan dan musuh sebenarnya. Terlebih lagi akan mudah bagi Indonesia untuk membantu  mediasi kedua kelompok ini, karena masing-masing dari kelompok ini pernah datang ke Indonesia untuk meminta dukungan, yang berarti dalam hal ini Indonesia dipercaya oleh mereka.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun