Oleh: Andri Setya Nugraha (FH UGM 2015)
Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak banyak menuai kontroversi di masyarakat. Terlepas akan munculnya anggapan tentang penggolongan sisi yang pro dan kontra terhadap tindakan asusila berupa pelecehan seksual terhadap anak.
Namun tidak demikian, karena siapapun sepakat bahwasanya pelaku dari tindakan asusila tersebut harus di hukum. Ini adalah mengenai hukum yang coba kita bangun agar dapat menjadi social engineering yang lengkap dan utuh dengan memperhatikan kajian disiplin ilmu lain, karena tampaknya penerbitan Perpu ini dinilai cenderung terburu-buru dan emosional dengan memberikan pidana tambahan kebiri kimia yang terdapat pada Pasal 81 ayat (7) dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Adapun bila di tinjau dari tujuan hukum pidana aliran modern adalah memuat tiga hal yakni memerangi kejahatan, memperhatikan ilmu lain, dan ultimum remidium. Memerangi kejahatan harus dengan memperhatikan kajian disiplin ilmu lain seperti kedokteran, psikologi, kriminologi dan lain sebagainya.
Selain itu hokum pidana adalah sebagai ultimum remidium atau senjata terakhir untuk menyelesaikan permasalahan sehingga menjadi penting untuk di kaji secara menyeluruh. Sedangkan tujuan dari pidana itu sendiri adalah yakni teori efek jera, agar pelaku tidak lagi mengulangi perbuatannya. Teori edukasi yakni mengedukasi masyarakat tentang mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk.
Teori pengendalian sosial yakni pelaku kejahatan di isolasi agar tindakan berbahayanya tidak merugikan masyarakat. Dua teorilagi yang harus dicermati adalah teorirehabilitasi dan teori keadilan restoratif. Teori rehabilitasi yakni pelaku kejahatan harusdiperbaiki kearah yang lebih baik, dan apakah dengan adanya pidana tambahan kebiri iniakan menjadikan pelaku terperbaiki ke arah yang lebih baik? Kemudian teori yang terakhiradalah teori keadilan restoratif yang mana melibatkan korban dan pelaku dalam proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelaku.
Dengan berlandaskan teori keadilan restoratif, focus peristiwa tidak hanya pada pelaku namun juga harus memfokuskan pada sisi korban. Jelaslah, psikis korban akan terganggu terhadapkejahatan yang terjadi pada dirinya, sehingga perlu melakukan upaya merestorasi keadaan korban.
Mengenai perihal penerbitanPerppu, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. ”Lalu apakah penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 ini telah memenuhi indicatorhal ihwal kegentingan yang memaksa? Untuk menghindari perbedaan pemahaman mengenai indikator hal ihwal kegentingan yang memaksa, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 menjelaskan tigasyaratsebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan Perppu, yaitu:Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkanUndang-Undang; Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau adaUndang-Undang tetapi tidak memadai; Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dua pendekatan diatas adalah untuk memberikan sedikit gambaran, apakah sudah efektif dengan melakukan pidana tambahan kepada pelaku pelecehan seksual terhadap anak mengingat maraknya peristiwa tersebut.
Referensi:
O.S. Hiariej, Eddy. 2016. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.