Generasi adalah aset dalam menjaga eksistensi sebuah bangsa. tanpa generasi maka bangsa akan mati. Konteks generasi di era Industri 4.0 tidak lagi sesederhana meningkatkan angka harapan hidup dan banyaknya usia produktif dibanding angka non pruduktif apalagi banyaknya angka kelahiran. Namun lebih dari itu generasi yang diharapkan sekarang adalah generasi yang cerdas dan mempunyai daya saing. Generasi tersebut hanya dapat di tumbuh kembangkan melalui pendidikan, sebagai bagian yang mempunyai peran sentral dalam mengembangkan generasi. Oleh sebab itu, Indonesia secara tegas menyatakan dalam alinea ke-4 bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun yang menjadi kendala bagi Indonesia sebagai negara kepulauan dalam mewujdukan pendidikan yang merata adalah disparitas wilayah.Â
kesenjangan pendidikan pun terasa sangat nyata. Salah satu contohnya adalah di Desa Bonto Manurung, Â Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika saat ini dunia pendidikan Indonesia sibuk meperdebatkan tentang penghapusan ujian nasional, di Desa ini ada masalah yang jauh lebih penting, yaitu apakah setiap anak mampu melanjutkan pendidikan? Apakah mereka merasakan pendidikan gratis dan mendapat bantuan pendidikan? apakah mereka dapat mengkases pendidikan?Â
Faktanya sangat miris. Desa yang terdiri dari 5 dusun ini  sebagian besar mengalami kesulitan dalam melanjutkan pendidikan. Menurut Agung salah satu siswa yang masih duduk di bangku kelas 1 SMA, setengah dari teman-teman SMPN-nya tidak melanjutkan pendidikan.  Jumlah anak SMA Sekarang dari kelas 1 sampai kelas 3 hanya 58 orang. Mereka hanya mempunyai dua pilihan yaitu menikah di usia dini atau meninggalkan kampung halaman untuk menjadi pekerja kasar di kota. Semua itu terjadi karena sulitnya akses pendidikan, kurangnya biaya dan rendahnya kesadaran orang tua mengenai pentingnya pendidikan.
Masalah lainnya adalah sarana dan prasarana pendidikan yang sangat jauh dari kata layak. SD dan SMP yang dibangun satu atap sudah sangat kumuh, dindingnya lapuk, lantai-lantai retak, pintu yang bocor merupakan bentuk nyata dari tertinggalnya sekolah di Desa ini. Bahkan yang paling menyedihkan adalah SMAS Bukit Tinggi yang merupakan satu-satunya sekolah tingkat atas di desa ini dibangun di atas lahan yang sangat sempit dan dinding tripleks. Jangankan lab, atau perpustakaan, ruang kelas saja hanya terdiri dari tiga ruangan yang tidak ditembok secara utuh.
Sekolah yang dibangun oleh Yayasan Sitti Khadijah ini baru dilegalisasi di tahun 2018 sehingga alumni-alumni sebelumnya tidak lulus atas nama sekolah ini, melainkan sekolah lain yang sudah mempunyai legalitas sebelumnya. Bantuan pendidikan dalam program KIP pun masih terbengkalai. menurut Pak Yusuf yang merupakan salah satu guru, karena baru dilegalkan jadi pengurusan KIP baru dalam tahapan proses.
Permasalahan di atas harus menjadi perhatian semua kalangan, khususnya pemerintah untuk dapat memberikan solusi terhadap disaprtias wialayah yang mengahambat pendidikan. Apalagi pendidikan adalah hak setiap warga negara yang wajib dipenuhi. Ketika pendidikan tidak dapat diberikan secara berkeadilan maka wajah masa depan bangsa pun akan timpang dan tidak stabil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H