Rohingya adalah salah satu kelompok etnis minoritas yang berasal dari Myanmar. Mereka mengalami diskriminasi, penganiayaan, hingga kekerasan yang sistematis oleh pemerintah dan mayoritas penduduk Myanmar yang beragama Buddha. Kekerasan-kekerasan terus berlanjut hingga mengakibatkan banyak dari mereka berupaya mencari perlindungan di negara-negara sekitar, termasuk pula Indonesia. Indonesia merupakan negara yang dikenal sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Selain itu, Indonesia juga memiliki sejarah panjang dalam menampung pengungsi dari berbagai negara yang mendapatkan perlakuan sama, termasuk Rohingya. Namun, belakangan ini, sikap masyarakat Indonesia terhadap Rohingya mulai berubah. Jika sebelumnya pada tahun 2015, masyarakat Indonesia menyambut Rohingya dengan simpati dan solidaritas antar sesama, kini pada tahun 2023, mereka menunjukan antipati dan penolakan.
Apa yang menyebabkan perubahan sikap masyarakat Indonesia terhadap Rohingya? Bagaimana media berperan dalam membentuk persepsi dan sikap masyarakat terhadap Rohingya? Bagaimana Rohingya berekspresi dan berkomunikasi melalui media dan menyuarakan aspirasi dan identitas mereka? Tulisan ini akan menggunakan teori interaksi simbolik sebagai kerangka analisis pada pengungkapan isu tersebut.
Interaksi Simbolik: Teori Media dan Budaya
Interaksionisme simbolik adalah teori yang menganggap bahwa manusia adalah makhluk sosial yang berinteraksi dengan sesamanya melalui simbol-simbol yang memiliki makna tertentu. Simbol-simbol ini dapat berupa bahasa, gestur, tanda, atau objek. Makna simbol-simbol ini tidak bersifat tetap, melainkan bersifat dinamis dan diproduksi secara bersama-sama oleh para aktor sosial dalam situasi tertentu.
Teori ini dikembangkan oleh George Herbert Mead, seorang filsuf dan sosiolog Amerika, yang mengkritik pandangan behaviorisme dan idealisme yang mengabaikan peran agensi manusia dalam menentukan Tindakan dan perilaku mereka. Menurut Mead, manusia tidak hanya bereaksi secara pasif terhadap rangsangan eksternal atau budaya, melainkan juga berpikir secara reflektif dan kreatif terhadap situasi yang sedang dihadapinya. Manusia juga memiliki kemampuan untuk memandang diri mereka sendiri dari sudut pandang orang lain, yang disebut sebagai "the generalized other". Dengan demikian, manusia dapat membentuk konsep diri, identitas, dan nilai-nilai yang menjadi dasar tindakan dan perilaku mereka.
Rohingya di Indonesia: Dari Simpati ke Antipati
Pada tahun, 2015, Indonesia bersama dengan Malaysia dan Thailand berupaya untuk menyelamatkan ribuan Rohingya yang terdampar di laut akibat ditolak oleh pemerintah Myanmar dan Bangladesh. Pada saat itu, masyarakat Indonesia menunjukkan rasa simpati dan solidaritas yang begitu tinggi terhadap pengungsi ini. Mereka menyumbangkan bantuan, menyediakan tempat tinggal, dan memberikan dukungan moral kepada Rohingya. Bahkan media juga meliput secara luas dan mendalam terhadap kondisi dan kisah-kisah Rohingya yang membangkitkan empati dan kesadaran masyarakat terhadap nasib mereka. Namun, belakangan ini, sikap masyarakat Indonesia terhadap pengungsi Rohingya mulai berubah, hal ini terlihat dari gelombang kedatangan Rohingya yang terjadi sejak November 2023.Â
Menurut data UNHCR, lebih dari 1.200 Rohingya telah mendarat di Indonesia sejak November, dengan tambahan pengungsi yang menyusul sebanyak 300 pengungsi tambahan.Â
Kedatangan yang semakin masif ini menimbulkan reaksi negatif dari sebagian masyarakat Indonesia, khususnya di Provinsi Aceh, tempat kebanyakan pengungsi Rohingya berlabuh. Mereka menganggap bahwa Rohingya adalah beban, masalah, dan ancaman bagi Indonesia. Mereka juga menuduh bahwa Rohingya adalah korban perdagangan manusia, perilaku kriminalitas, dan penyebab konflik sosial.