Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah No 78 tentang pengupahan pada tahun 2015, mendapat reaksi keras dari kalangan buruh. Buruh yang tergabung dalam berbagai serikat pekerja di seluruh Indonesia menuntut agar Peraturan Pemerintah tersebut dicabut. Waktu itu Peraturan Pemerintah tersebut dianggap telah merampas hak demokrasi buruh karena tidak melibatkan buruh dalam penetapan upah.
Sejak saat itu, penolakan terhadap Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2015 dilakukan secara gencar dan terus menerus dalam setiap aksi demo 1 Mei memperingati hari buruh, bahkan saat buruh melakukan aksi solidaritas di pabrik atau di kantor dinas ketenaga kerjaan isu tersebut tidak luput untuk suarakan. Namun pemerintah tetap bergeming dan tidak merespon sama sekali apa yang menjadi tuntutan buruh.
Pasca pilpres 2019, Presiden Joko Widodo pernah menyatakan sepakat akan merevisi Peraturan Pemerintah No 78 tersebut seperti yang dikutip dari www.katadata.co.id pada tanggal 26 April 2019 yang lalu dengan judul Jokowi dan Pimpinan Serikat Buruh Sepakat Revisi PP Pengupahan, namun masih belum jelas akan seperti apa revisi yang dilakukan. Ini artinya membutuhkan waktu hampir lima tahun berdemo dan berteriak agar suara buruh didengar.
Namun lain halnya dengan usulan revisi undang-undang tenaga kerja yang diusulkan oleh APINDO, menurut APINDO undang-undang tersebut memberatkan pengusaha dalam hal pemberian uang pesangon kepada buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja. Seperti gayung bersambut, respon pemerintah melalui menteri Hanif Dhakiri sangat cepat, bahkan beliau sudah mengkaji usulan APINDO tersebut. Seperti yang ditulis pada tanggal 14 Juni 2019 di www.cnnindonesia.com dengan judul Respons Curhat Pengusaha, Hanif Kaji Revisi UU Tenaga Kerja.
Jika kita bandingkan respon pemerintah terhadap usulan APINDO dengan apa yang selama ini disuarakan buruh, sangat jelas sekali bahwa negara berpihak pada pemodal tanpa pernah sedikitpun berpihak pada buruh. Seharusnya pemerintah mengambil posisi yang proposional karena buruh merupakan bagian kelompok masyarakat yang lemah. Maka tidak berlebihan dan tepat jika selama ini buruh melihat telah terjadi perselingkuhan antara negara dan pemodal. Buruh hanya sebagai alat yang terus diperas untuk menghasilkan modal yang dinikmati oleh negara dan pemodal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H