[caption id="" align="aligncenter" width="391" caption="Muhammad Abduh"][/caption] Seorang cendikiawan Mesir, Muhammad Abduh pernah berucap yang kurang lebih seperti ini, "Sesungguhnya aku lebih melihat Islam di negeri-negeri non-Islam daripada yang kutemui di negeriku sendiri". Pernyataan itu bisa keluar dari diri seorang Muhammad Abduh ketika dia kuliah di Perancis, negara yang menjajah negerinya sendiri. Pernyataan yang kontroversial ini keluar berangkat dari pemahaman yang komprehensif dari Muhammad Abduh akan makna kata Islam itu sendiri. Dr. Yusuf Qardhawi, Ketua Majelis Ulama Dunia, pernah menjelaskan tentang konsep Syumuliatul Islam (Universalitas Islam). Menurut beliau, Islam itu keseluruhan konsep yang meliputi jasmani maupun rohani, meliputi dunia dan akhirat. Dia mengatur hampir semua hal di dalam kehidupan ini, dia mengatur dari cara kita masuk WC sampai bagaimana cara kita mengurus negara. Dia mengatur tata cara malam pertama pengantin sampai mengatur tentang Ekonomi Syariah. Itulah Islam, dia integral bukan parsial. Konsep ini dapat dikatakan antikonsep dengan konsep sekulerisme. Di mana konsep ini melakukan dikotomi antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat. Sebenarnya konsep ini muncul karena rasa traumatis di masa Renaissance, di mana dulu pemimpin gereja juga menjadi pemimpin politik. Ketika itu para Paus gagal melaksanakan kepemimpinannya dengan menjual ayat-ayat Tuhan untuk kepentingan duniawinya, sehingga kepemimpinan gereja pun menimbulkan kekecewaan. Akibatnya muncul konsep sekulerisme yang mencoba memisahkan antara unsur agama dengan unsur dunia. Kita sebagai umat Islam jangan ikut-ikut konsep sekulerisme ini. Mengapa? Orang non-Islam maju dengan memisahkan agamanya dengan dunianya (konsep sekulerisme), tetapi orang Islam maju dengan menyatukan agamanya dengan dunianya (konsep Syumuliatul Islam) seperti yang telah ditunjukkan oleh Khalifah-khalifah kita terdahulu di Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah yang memerintah dengan sangat adil. Karena konsep Syumuliatul Islam inilah, Muhammad Abduh berani berucap bahwa di negara non-Islam terkadang lebih menunjukkan nilai-nilai Islam dibanding dengan negara Islam itu sendiri. Sama-sama kita ketahui contohnya mengenai konsep kebersihan infrastruktur ataupun sanitasi negara-negara non-Islam, mereka sangat maju dan lebih menunjukkan nilai-nilai Islam karena "Kebersihan sebagian dari Iman". Menurut saya, tidak hanya negara non-Islam-nya saja yang lebih Islam, orang-orang non-Islam pun terkadang lebih Islam. Ambil contoh saja di negara Jepang. Menteri Perhubungan Jepang rela mengundurkan diri ketika ada salah satu pesawat di Jepang mengalami kecelakaan. Orang Jepang sangat malu jika mereka mengecewakan amanat yang telah diberikan orang lain kepadanya, dan kita pun mengenal prinsip Harakiri dalam kebudayaan Jepang. Coba dibandingkan dengan Indonesia, seorang narapidana koruptor dulu pernah sangat betah gak mau mundur dalam suatu organisasi olahraga terpopuler di Indonesia. Di mana rasa malunya? Padahal "Malu sebagian dari Iman". Atau ambil contoh saja tentang pemeringkatan negara-negara yang terbersih dari korupsi. Saya sangat heran justru negara-negara semacam Swiss, Denmark, dan Singapura yang selalu menjadi langganan tempat teratas, di mana negara-negara Muslim? Bahkan Indonesia pun termasuk negara terkorup di Asia setelah Cina. Padahal Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Nilai-nilai antikorupsi seperti kejujuran dan integritas sangat menjadi nilai-nilai utama dalam Islam, tetapi justru nilai-nilai itu yang tidak ada dalam diri umat Islam dan dimiliki oleh orang-orang non-Islam. Saya menilai umat Islam dewasa ini hanya terbatas menikmati Islam sebagai rutinitas ibadah saja tanpa menyelami nilai-nilainya dan mempraktikkannya ke dalam kehidupan. Umat Islam hanya memandang Islam itu ada di masjid saja. Padahal Islam itu ada di mana saja, di kantor, di sekolah, di gedung parlemen, di rumah sakit, dan di mana pun itu. Karena di mana pun umat Islam berada di situlah masjid baginya, di situlah hamparan sajadah baginya untuk bersujud menyembah Allah SWT. Karena Allah SWT telah berfirman bahwa tidaklah Dia menciptakan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Beribadah dalam konteks ini sangat luas, seorang suami yang pergi ke kantor dengan niat untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya pun sudah tergolong ibadah. Seorang pengemis yang memberi makan anjing yang kelaparan pun sudah termasuk ibadah. Umat Islam terkadang hanya menikmati Islam secara formil saja tidak secara materil. Dia hapal banyak doa-doa dalam bahasa Arab, tetapi ketika ditanya artinya apa doa yang dia ucapkan? Dia pun hening terdiam. Banyak orang Islam yang khatam Al-Qur'an, tetapi mungkin hanya sedikit yang mengamalkannya dalam kehidupan. Sehingga pantaslah seorang ulama besar, K. H. Zainuddin M. Z. pernah berucap yang kurang lebih, "Bentuk fisik Al-Qur'an kita junjung-junjung kita taruh di tempat yang tinggi, tetap nilai-nilainya kita injak-injak dalam kehidupan". Karena nilai-nilai Islam itu bersifat universal atau dapat dikatakan dia merupakan hukum alam, maka jangan salahkan orang-orang non-Islam menemukannya terlebih dahulu, menerapkannya dalam kehidupan, dan mereka meraih kejayaan. Semoga keadaan ini hanya sementara dan semoga umat Islam dapat menerapkan nilai-nilai Islam yang universal itu secara kaffah (menyeluruh).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H