Mohon tunggu...
andri muhammad
andri muhammad Mohon Tunggu... serikat pekerja seluruh indonesia -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

terserah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Sandi, dan Genderuwo Ekonomi

12 November 2018   20:39 Diperbarui: 12 November 2018   20:45 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memberantas mafia pangan jelas pekerjaan besar. Terus-menerus. Dan, tidak pernah mudah. Sama sulitnya dengan membinasakan mafia narkoba. Atau mafia terorisme. Sistem kerja mereka solid, juga fleksibel. Namun, toh, pembatasan ruang gerak para bandit itu secara sistematik membuat mereka ciut. Walhasil, volatilitas harga pangan dapat diredam. Harga-harga secara agregat stabil. Atau dalam bahasa teknis makroekonomi, inflasi terkendali.

Kebijakan Cespleng Jokowi 

Sesungguhnya, pemerintah Jokowi-JK diwarisi inflasi cukup tinggi. Namun, tak butuh waktu lama, pemerintah sanggup membalikkan keadaan. Data BPS mengonfirmasi klaim tersebut. Pada 2013, inflasi tembus 8,38%, turun 2 basis poin, yakni sebesar 8,36% di periode berikutnya. Hebatnya, pada 2015 atau setahun Jokowi memimpin negeri, inflasi terjun bebas menjadi 3,35%. Lalu terkoreksi lagi, mencapai 3,02% di 2016. Memang, di 2017, angka inflasi sedikit meninggi, sebesar 3,61%, tapi angka tersebut masih dalam batas asumsi makro APBN di tahun berjalan.

Kemudian, apa makna inflasi rendah bagi masyarakat? Dalam pemahaman sederhana, inflasi terjaga memacu efisiensi sektor bisnis karena stabilitas biaya produksi. Inflasi terkendali juga menunjukkan terjaganya daya beli masyarakat berpendapatan tetap. Yang paling mudah dilihat, inflasi rendah memastikan stabilitas harga kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, ibu-ibu yang belanja ke pasar tersenyum gembira. Rona bahagia memancar dari wajah-wajah mereka. Kalau tak percaya, tengoklah ulang visual blusukan Jokowi di 3 pasar berbeda (Pasar Cihaurgeulis Bandung, pasar di Bogor, dan Pasar Anyar Tangerang) belakangan ini. Emak-emak---meminjam istilah Sandi, tampak begitu intim saat berfoto bersama Presiden, tak sedikit pun mengeluhkan problem harga kebutuhan pokok.

Variabel inflasi terkendali inilah yang turut menjelaskan tingkat kepuasan publik (approval rating) yang begitu tinggi terhadap Jokowi---mencapai 72% menurut Indikator Politik Indonesia (periode survei September 2018), 72,2% berdasarkan rilis Litbang Kompas (periode survei 21 Maret-1 April 2018), dan 68,6% versi Indo Barometer (periode survei 15-22 April 2018).

Itu pula yang menggambarkan, betapa gelombang kritik dan hujatan seperti tidak mempan merobohkan elektabilitas Jokowi. Tetap kokoh bertengger di urutan pertama. Bahkan hingga detik ini. Data survei tersebut juga mengonfirmasi bahwa hasil kerja Jokowi berpengaruh secara positif terhadap kepuasan publik dan level elektabilitasnya. Komitmennya dirasakan nyata dalam menjaga isi perut rakyat. Kebijakannya diakui begitu greget melindungi masyarakat berpendapatan rendah.

Ok, lalu apa relasi inflasi dan 'genderuwo ekonomi'? Inflasi rendah mengindikasikan pasar bekerja secara bersaing, setidaknya mendekati kompetitif. Sementara 'genderuwo ekonomi' adalah pengganggu pasar. Lewat metode kartel dan monopoli. Menciptakan pasar yang tidak efisien, penuh residu. Itulah yang dalam perspektif mikroekonomi disebut sebagai kegagalan pasar (market failure). Sebaliknya, terjaganya inflasi membantah sinyalemen maraknya 'genderuwo ekonomi'. Dengan argumentasi ini, kebijakan anti mafia pangan terindikasi manjur. Atau sekurang-kurangnya mampu menciutkan nyali para bandit itu.

Untuk menertibkan pasar domestik, Jokowi tidak hanya menggunakan instrumen Satgas Anti Mafia Pangan dan Tim Saber Pungli. Jurus lainnya, kebijakan penetapan harga (pricing policy) dalam segala variasinya disusun dengan penuh perhitungan dan terbukti cespleng. Taktik berupa penyederhanaan dan digitalisasi perizinan seperti Online Single Submission (OSS) juga menjadi jawaban akhir dalam perang melawan pemburu rente. Pendeknya, mafia ekonomi dikepung sedemikian rupa. Dikerdilkan kepongahannya.

Di bidang pengelolaan ekonomi, Jokowi dan Kabinet Kerja memang masih memiliki pekerjaan rumah bejibun. Tetapi sinyal-sinyal perbaikan sistemik dan mendasar tampak nyata adanya. Pintu masuk mafia pemburu rente dan praktik monopoli ditutup rapat. Dalam hal ini, terma 'genderuwo ekonomi' masih dapat diterima sebagai ajakan untuk lebih waspada. Namun menyebut ekonomi Indonesia disesaki genderuwo jelas mengada-ada. Receh dan tidak logis. Come on, Bang Sandi...!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun