Hutan, tempat yang penting banget buat kita. Tanpanya, kita kayaknya bakal terbatas dapet udara bersih, segar, dan bebas. Tanpanya, kita mungkin tak kenal yang namanya warna hijau dan warna turunannya yang berasal dari warna pepohonan. Tanpanya juga, mungkin kita tak kenal berbagai fauna yang berasal dan hidup di hutan.Â
Berbagai aspek kehidupan bergantung sama hutan. Hutan masih nyimpan berbagai rahasia alam yang sampai sejauh ini belum semua kita temukan. Tak salah, kalau hutan dapat  julukan sebagai paru-paru dan sumber kehidupan.
Jadi orang Indonesia, mestinya bersyukur karena kita tinggal di negeri yang kalo kita lihat dari atas, mayoritas warnanya hijau. Itu tandanya, Indonesia dihampari oleh hutan. Negeri khatulistiwa yang kaya sama pepohonan yang terbentang dari ujung ke ujung kepulauan. Tapi, sayangnya, karena tuntutan dan keadaan, hutan di negeri ini kian hari kian berkurang.Â
Miris rasanya lihat pemberitaan yang nyiarin kondisi pembalakan hutan yang terus-terusan. Pertanyaannya, "mau sampai kapan?" Entah. Bahkan sampai para elit pembuat kebijakan pun dibuat kualahan ngatasin hal yang demikian. Besar harapan kita, masalah ini bisa terselesaikan.
Di luar masalah tersebut, masih ada wilayah-wilayah di Indonesia yang peduli sama hutan. Banyak yang masih peduli. Mereka melindungi hutan sama berbagai peraturan. Bahkan, ada juga yang melindungi hutan dengan ketentuan adat dan kepercayaan. Bali salah satunya. Tak heran, menurut saya masyarakat Bali selalu melibatkan dan berusaha hidup harmonis sama alam.Â
Hutan bagian dari alam. Dan, masyarakat Bali menghormati hutan sebagaimana mestinya. Bukan hanya hutannya, tapi juga apa yang ada di dalam dan jadi bagian dari hutan. Sangeh Monkey Forest, salah satu wujud nyata keharmonisan antara manusia dan alam di Bali. Tulisan ini, akan membahas hutan yang baru aja saya kunjungi di tanggal 7 Desember 2018 ini.
Itu menurut saya. Lokasi hutan ini ada di tengah-tengah pemukiman manusia. Sekeliling hutan ini dibatasi sama jalan raya. Jalan yang ramai sama hilir-mudik kendaraan. Karena lokasinya yang ada di sekitar pemukiman warga dan jalan raya, satu hal yang pasti, akses ke lokasi ini mudah. Kalau ditanya berapa waktu yang diabisin buat bisa sampai sana?Â
Kalo ditanya gitu, saya juga bingung jawabnya, karena kalo diukur dari lokasi penginapan masing-masing, ya pasti bakal beda-beda. Buat hal itu, kayaknya bisa dicari sendiri pake aplikasi Google Maps. Tapi, kalo dari penginapan saya, jaraknya hanya 35 menit berkendara dengan kecepatan 40-60 km per jam. Intinya, manfaatin Google Maps.
Sepanjang perjalanan ke hutan ini, terutama pas udah deket lokasi, kita bakal disuguhin sama pemandangan sawah-sawah yang ada di kanan kiri jalan. Makin deket ke tujuan, kita bakal ketemu sama beberapa penjual makanan tradisional Bali di pinggir jalan. Mulai dari cemilan sampai makanan berat juga mereka jual.Â
Dari lokasi penjual makanan itu, kita sebenarnya sudah bisa lihat hutannya. Gimana enggak, pepohonan tinggi yang rimbun, dengan beberapa pohon yang punya akar gantung, sukses bikin pandangan kita langsung teralih ke sana. Yang tadinya, sepanjang perjalanan, kita dikasih pemandangan persawahan, terus beralih ke pepohonan besar.Â