Mohon tunggu...
Andri Maijar
Andri Maijar Mohon Tunggu... lainnya -

Wartawan di Harian Rakyat Sumbar - Jawa Pos Group

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bagaimana Media Hari Ini?

13 Juli 2014   05:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:30 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Ini taktik latihan militer yang diajarkan di Pentagon untuk pertahanan dalam kota, sengaja untuk membuat bingung warga. Klaim terus kemenangan, meskipun kalah. Display terus hasil survey bohong di televisi, dan terus-terusan bilang kawal kecurangan hingga seolah ia lah pihak yang benar.  Awasi  dusta yang diproduksi terus dan berulang hingga bagi pemercayanya akan menghilangkan keraguan. sementara bagi kita yang awas waras dan tahu situasi, tetap berjaga aja ya" Dikutip dari ocehan Mbak Ucu Agustin seorang sineas dokumenter tentang berita di sebuah media yang dibagikan di wall facebooknya.

Ocehan ini mengingatkan penulis terhadap fenomena yang terjadi pada Pilpres 2014 ini. Adanya perang media, perang fitnah, perang kekuasaan yang melibatkan masyarakat sebagai tumbal adu domba dari pertandingan politik dan tentu saja sangat perpotensi terhadap hancurnya keutuhan NKRI.

Perang antar kubu sudah sangat terlihat dimana masing-masing capres dan cawapres telah resmi ditetapkan oleh Komisi pemilihan umum (KPU). Jelang beberapa hari, Media yang awalnya sebagai acuan dalam penyebaran informasi secara independen dan berimbang berubah menjadi sarana pencitraan dan pemburukan bagi masing-masing kubu.

Kini, Media sudah tidak lagi menjadi sumber informasi yang independen. Media sudah dicampuri kepentingan politik untuk mendapatkan kekuasaan. Sudah menjadi ciloteh publik, media yang dahulunya diagung-agungkan namannya sekarang menjadi alat perang. Berbagai isu, fitnah, dan asutan kian bertebaran dan berkembang di tengah masyarakat.

Aneh memang, masyarakat hanya menjadi penonton dan pembaca yang bingung. Masyarakat menjadi pion dalam percaturan politik. Berbagai kepentingan politik bercampur aduk dalam visi-misi yang "entah" akan terwujud.  Himbauan "kita menang"  telah mendoktrin masyarakat untuk tetap percaya tentang keraguan bagi pemercayannya. Setiap kubu akan terus berargumentasi  tentang kemenangnya dari kubunya terhadap kubu lain. Ini tentu saja akan memacu konflik dan alat pemecah belah bangsa.

Contoh singkat, Pengumuman tentang hasil hitungan cepat (Quick Count) pilpres 2014 oleh beberapa lembaga survei yang berbeda tiap medianya. Tentu saja hal ini sangat mudah dicerna publik tentang kepentingan sebuah kubu terhadap media yang sudah tidak sangat adil lagi. Tiap-tiap Tim Sukses (Timses) dari masing-masing kubu adalah pemilik media yang tentunya memberikan informasi lebih terhadap calon yang diusungnya. Toh, Bagaimana publik bisa menilai dan membuat sebuah komparasi terhadap pilihannya. Toh, Disetiap media hanya mengembar-gemborkan kebaikan dan kearifan dari calon yang diusungnya.

Kejengkelan ini tentu saja bukan sebuah opini yang tak berdasar. Jauh sebelum Pilpres 2014 ini telah diperbincangkan.  Film Dokumneter Dibalik Frekuensi karya Ucu Agustin telah memberikan gambaran bahwa media telah "disisipi". Sebuah kepentingan telah menjadi benalu dalam perkembangan media sebagai alat informasi yang harusnya berimbang.

Tak jauh dari itu, Saat ini suasana elit politik yang semakin memanas tentu saja membuat pengikut-pengikut juga menjadi garang. Pemberitaan yang sebelah pihak dan seakan memberikan dugaan salah terhadap yang didukungnya tanpa memberikan perimbangan lain yang berakibat menyudutkan tentu saja akan memicu sesuatu yang berakibat fatal. Yang mesti dipertanyakan, apakah ini adalah sebuah skenario besar oleh oknum tertentu dalam memecah belah NKRI? Apakah kepentingan mereka? Apakah mereka tidak memikirkan jutaan jiwa masyarakat indonesia yang sangat bergantung terhadap pemimpin yang akan memimpinya 5 tahun kedepan?

Sebuah pertanyaan lain juga akan timbul, Apa kepentingan media sebagai alat pengembor-gemboran dan penghancuran nama baik seseorang? Apa untungnya bagi mereka? Seandainya tokoh yang diusungnnya kalah, apakah mereka para media tidak takut akan kehancuran nama baik medianya tersebut? Nah, Bagaimana masyarakat akan menilai tentang tokoh yang ada dibelakang media tersebut?

oleh : Andri Maijar - Padang, 12 Juli 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun