Mohon tunggu...
Andri Lestari
Andri Lestari Mohon Tunggu... Penulis - Menjadikan hobi sebagai penghasilan

Menulislah, agar selalu dikenang meski tubuh telah menjadi tulang belulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Janda Bolong

5 Oktober 2020   21:37 Diperbarui: 5 Oktober 2020   21:44 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ya udah!" seruku bersemangat. Apa pun itu, demi janda bolong aku siap.

Akhirnya Bang Paijo puj berangkat. Berbekal serantang nasi berserta lauknya, juga satu bungkusan yang berisi beberapa lembar pakaian serta dalaman sesuai permintaanya. Aku berdiri di teras depan sambil melambaikan tangan. Kuelus perut yang kian membesar sambil berbisik penuh harap, "sabar, Nak. Ngga lama lagi tanaman itu akan menghiasi teras kecil kita."

***

Sudah dua hari kepergian Bang Paijo. Aku masih bersabar menanti, barangkali memang banyak sekali tanaman yang harus dicabut. Lumayan, bisa dijual nanti. Hasil dari penjualan bisa dipakai untuk kebutuhan kami setelah kelahiran si baby nanti. Aku tersenyum sendiri sambil menghayalkan rencana ke depan. Semua terlihat mudah tanpa hambatan.

Pagi berganti siang, siang pun di selimuti kelam. Malam menjelang, Bang Paijo tak kunjung datang. Aku kian resah menanti, bukan perkara janda bolong, melainkan suamiku yang entah ke mana pergi. Pagi-pagi sekali aku sibuk berdiri di pinggir jalan setapak menuju hutan. Menunggu di sana dengan debaran jantung yang tak keruan. Sesekali aku berpas-pasan dengan beberapa ibu-ibu yang hendak mencari kayu ke hutan. Mereka menatapku heran, seakan bertanya, "ngapain pula perempuan bunting berdiri di sini pagi-pagi buta?"

Aku tak tahu sekarang jam berapa. Yang kurasa perut sudah keroncongan dan pusing sesekali melanda. Beberapa saat kemudian aku melihat Kak Minah dan beberapa temannya mendekat. Masing-masing mereka membawa goni, cangkul serta parang. Sebelum aku menegur, Kak Minah terlihat tersenyum ke arahku. Namun, aku bisa merasa jika senyumnya tidak seperti biasa.

"Ayu, ngapain di sini?" tanyanya sambil mendekat. Melihat kedatangan mereka, aku memilih duduk di atas rumput beralaskan sandal yang tadinya kukenakan.

"Aku nungguin Bang Paijo, Kak."

"Loh, kenapa nunggu di sini? Kamu pucat banget, keringetan lagi. Yuk, kami antar pulang." Raut wajah Kak Minah terlihat perihatin.

"Udah empat hari Bang Paijo pergi, Kak. Aku suruh nyariin janda bolong. Pingin juga nanem tanaman itu di pot kayak Kakak sama Kak Ita. Tapi ngga balik-balik."

"Ya ampun, Ayu. Suamimu itu bukan cari tanaman janda bolong di hutan. Tapi, cari janda beneran di kampung sebelah. Kemarin kulihat dia ke kota, boncengan sama si Marni. Pegangan pinggang lagi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun