Suasana gereja atas bukit itu tetaplah ramai meski sebetulnya ibadah sudah selesai beberapa jam lalu. Mereka berdiskusi di bawah pohon cemara di samping gereja membahas rencana perayaan Natal nanti.
"Tahun ini kita membuat Pohon Natal dari botol botol air mineral bekas. Kita mulai kampanye Go Green untuk mencintai lingkungan kita," kata ketua panitia natal pemuda tahun ini
" jadi kita tidak menghias cemara tua di depan gedung gereja yang tiap tahun selalu kita jadikan pohon natal itu ya ?"
"Setuju setuju, kapan kita mulai kerjakan ?"
" Secepatnya, kita mulai mengumpulkan botol bekas air mineral di sekitar kita!" ketua panitia Natal menegaskan.
Cemara tua tertunduk lesu mendengarnya. Ia sedih karena tubuhnya tak dihias lagi seperti tahun tahun sebelumnya. Padahal menurut ayah ibunya tradisi menghias pohon cemara sebagai pohon natal sudah dilakukan sejak jaman dulu.
Ia teringat cerita cerita bapak cemara puluhan tahun lalu bahwa mereka semua ditanaman oleh Ndoro Tuan Andrianus dan keluarganya. Beliau adalah pendeta yang membangun gereja di atas bukit dengan model gaya Belanda itu.
Tiap bulan Desember Ndoro Tuan Andrianus akan menghias pohon cemara di sekitar gereja dengan berbagai hiasan. Tak lupa juga dipasang lentera lentera kecil sehingga sinar kerlap kerlipnya kelihatan hingga beberapa desa di lereng bukit itu.
" Hai cemara mengapa engkau bersedih ?" tanya burung gereja sambil beristirahat di dahannya.
Kemudian pohon cemara tua menceritakan rencana bahwa untuk tahun ini tubuhnya tak akan dihias seperti tahun tahun sebelumnya
" Aku sedih karena pasti para leluhur pohon cemara pasti juga merasakan kesedihan ini. Tubuhku tak berguna lagi dan tak ada yang memperhatikanku lagi,' katanya sambil menitikkan air mata.
" Jangan bersedih beri saya waktu untuk berpikir bersama burung burung gereja yang bersarang di lonceng gereja itu", katanya sambil terbang ke arah sarangnya di lonceng gereja.