Jalan disekitar rumah saya sedang direnovasi, dilapisi dengan aspal. Proyek tersebut didanai oleh seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang pada pemilu 2024 akan ikut  serta kembali berkontestasi sebagai anggota legislatif (caleg).
Masa kampanye belum dimulai, tapi spanduk, atribut sudah banyak terpampang di ruang-ruang publik, khususnya di pinggir-pinggir jalan, seperti bersaing dengan pedagang kaki lima dalam mencari lahan kosong.
Kebanyakan atribut-atribut yang terpasang hanya menampilkan foto, nama dan nomor urut sang caleg. Ada beberapa caleg yang menambahkan kalimat-kalimat sederhana yang mirip dengan penjual es teh manis seharga Rp. 3.000 yang sedang viral di lingkungan saya.
Saya sebagai seorang warga masyarakat yang mempunyai hak pilih di pemilu 2024, tidak pernah melihat para kontestan (Partai, Caleg dan Capres) mencantumkan hal-hal yang berkenaan dengan visi, misi apalagi program, sehingga bagaimana saya tahu, bahwa caleg akan mewakili saya untuk menyuarakan kebutuhan saya di parlemen, begitu juga dengan Capres, bagaimana saya bisa tahu, akan dibawa seperi apa nanti, dan apakah yang akan dilakukan jika terpilih memimpin Negeri ini dalam memenuhi kebutuhan saya?
Saya coba menjadi relawan seorang Capres, ternyata tidak juga membuat saya mengetahui, apa yang akan menjadi kebijakan-kebijakan sang Capres jika terpilih. Relawan tempat saya bergabung juga berkerja sama dengan seorang Caleg dan seorang calon anggota DPD (Senat) namun hal yang sama juga saya dapati, bahkan saya tidak pernah mendapat penjelasan tugas dan tanggung jawab anggota Legislatif dan Anggota Senat. Setiap saya mau bertanya, hanya bagaikan angin sepoi-sepoi yang membuat orang mengantuk.
Saya tetap aktif, walaupun tidak pernah mendapat jawaban, untuk melihat apa yang akan mereka lakukan dalam menarik simpati masyarakat hingga diharapkan akan memilih mereka.Â
Ternyata aktifitas yang dilakukan hanya memasang spanduk, baliho, membagi-bagikan sticker, kaos, kalau ada dana lebih, membagikan sembako atau bahkan memperbaiki jalan.Â
Beberapa kali membuat pertemuan dengan masyarakat, biasanya tingkat RW, namun tidak juga saya mendapatkan informasi yang dibutuhkan, bahkan tentang fungsi dan tugas legislatif pun tidak ada.Â
Kebanyakan Cuma menginformasikan bantuan-bantuan yang sudah dilakukan, seperti sumbangan mobil ambulance, membantu mengurus beberapa orang sakit, kesulitan pengurusan yang berhubungan dengan pemerintahan setempat (Kelurahan hingga Kota/Kabupaten) , bantuan/sumbangan pembangunan rumah ibadah, dan biasanya ditutup dengan pembagian sembako dan atau pergantian transport (padahal warga yang hadir tinggal di sekitar tempat pertemuan).
Ternyata bergabungnya saya sebagai relawan atau tim sukses (timses)pun tidak mendapatkan banyak informasi, tidak jauh berbeda dengan masyarakat awam lainnya. Kebanyakan relawan atau timses spertinya juga tidak mengetahui banyak tentang apa yang akan dilakukan dan diperbuat calonnya untuk negeri ini, kebanyakan hanya doktrinasi mengkultuskan untuk relawan capres dan mencari keuntungan pribadi timses untuk caleg.
Tidak membeli kucing dalam karung adalah sebuah kiasan untuk berhati-hati dalam membeli suatu barang, biasanya digunakan juga dalam pemilu, supaya masyarakat berhati-hati dalam memilih wakilnya dan pemimpinnya untuk 5 tahun. Tapi bukankah ketika karung dibuka, kita hanya akan bisa melihat warna dan bentuk si kucing, kita tidak akan tahu, apakah kucing tersebut bisa menangkap tikus, apakah kucing tersebut bisa ramah selalu, tidak akan mencuri ikan didapur.