Mohon tunggu...
Delfiandrie
Delfiandrie Mohon Tunggu... Freelancer - Penggiat literasi

Penikmat kopi, penyuka sastra, hobby lari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyoal Status Kewarganegaraan

17 Agustus 2016   04:06 Diperbarui: 17 Agustus 2016   04:11 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keputusan Presiden RI, Joko Widodo, yang memberhentikan dengan hormat Arcandra Tahar sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menjadi topik utama pemberitaan hampir di semua surat kabar hari ini. Melalui surat yang dibacakan oleh Menteri Sekertaris Negara, Pratikno, pada Senin (16/08/2016) malam. Arcandra akhirnya resmi diberhentikan dari jabatannya, dan posisinya digantikan oleh Menko Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai Plt Menteri ESDM sampai dengan diangkat menteri yang baru. Sebelumnya, media memang ramai memberitakan jika Arcandra memiliki status kewarganegaraan ganda (bipatride). Satatus kewarganegaraan yang dimiliki oleh Arcandra pada saat dilantik menjadi Menteri adalah berkewarganegaraan asing. Karena, pada tahun 2012 Arcandra diketahui pernah berpindah kewarganegaraan dengan mengucap janji setia untuk menjadi warga negara Amerika Serikat.

Di hari yang sama dengan pemberhentian Arcandra, media pun ramai memberitakan tentang status kewarganegaraan ganda yang dimiliki oleh Gloria Natapraja Hamel. Seorang anggota Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra), yang sedianya akan bertugas pada saat pelaksanaan Upacara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia (Hut Kemerdekaan) ke-71 di Istana Negara. Gloria yang baru menginjak usia 16 tahun, diketahui memiliki kewarganegaraan ganda karena terlahir dari pasangan ayah dan Ibu yang berbeda negara. Ayah dari Gloria merupakan seorang warga negara Prancis, sementara Ibunya berkewarganegaraan Indonesia. Hal tersebut yang kemudian membuat Imam Nahrawi sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, memutuskan untuk tidak mengikutsertakan Gloria dalam pelaksanaan Hut Kemerdekaan ke-71 di istana negara. Namun, keputusan tersebut kemudian menjadi polemik, karena Gloria masih berusia di bawah 18 tahun.

Peraturan Perundang-undangan

Persoalan mengenai kewarganegaraan di Indonesia menjadi penting setelah beberapa kali terjadi permasalah yang berkaitan dengan status kewarganegaraan seseorang. Karena, tidak sedikit Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah tinggal lama di luar negeri dan melakukan perkawinan dengan warga negara asing, yang pada akhirnya menjadi persengketaan mengenai status kewarganegaraan anak mereka.

Jika melihat peraturan perundang-undangan, Indonesia memang tidak mengenal status kewarganegaraan ganda. Karena dalam Pasal 23, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, disebutkan seseorang akan kehilangan statusnya sebagai WNI jika di saat yang bersamaan dia memperoleh status kewarganegaraan dari negara lain atas kemauannya sendiri, atau secara sukarela mengangkat sumpah dan menyatakan janji setia kepada negara asing. Namun, status WNI bisa dikembalikan dengan mengajukannya kembali kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Dengan jangka waktu paling lama 244 hari atau sembilan bulan kurang untuk memperoleh status WNI-nya kembali.

Persoalan yang menimpa Arcanda sebenarnya merupakan persoalan hukum, dimana yang bersangkutan telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan Presiden untuk memberhentikan Arcandra pun dinilai sebagai langkah yang tepat, meskipun tidak sedikit yang menyayangkan keputusan Presiden dalam pengangkatan Arcandra, tanpa melalui proses seleksi administrasi yang benar. Demikian pula hal nya dengan persoalan yang menimpa Gloria, meskipun yang bersangkutan masih berusia di bawah 18 tahun (belum bisa menentukan pilihan tentang status kewarganegaraannya). Namun, belakangan diketahui jika Gloria sebenarnya telah memegang Paspor berkebangsaan Perancis. Hal itu pulalah yang kemudaian menjadi dasar bagi Imam Nahrawi untuk menggugurkan keikutsertaan Gloria dalam anggota Paskibra. Karena yang bersangkutan telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan memegang dari paspor negara lain sehingga kewarganegaraaannya hilang.

Rasa Nasionalisme dan Revisi Undang-Undang Kewarganegaraan

Pasca mencuatnya berita mengenai Arcandra dan Gloria, muncul sebuah wacana tentang perlunya Revisi Undang-Undang Kewarganegaraan. Berbagai alasan tentang perlunya revisi pun kemudian mengemuka, salah satunya karena Undang-Undang Kewarganegaraan yang berlaku saat ini, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Karena, perkembangan zaman saat ini telah membuat mobilitas sesorang untuk bergerak dinamis, sehingga tidak sedikit penduduk (WNI) yang melakukan perjalanan dan perpindahan ke negara lain untuk mencari ilmu atau bekerja dalam jangka waktu yang cukup lama. Selain itu, banyak negara sudah mengadopsi dwi-kewarganegaraan, sehingga diperlukan pengaturan khusus untuk memberikan kemudahan bagi penduduk yang bekerja atau menetap cukup lama di luar negeri pada saat ingin kembali ke Indonesia

Namun, apapun alasannya, rasa nasionalisme dan cinta terhadap tanah air tentunya harus tetap dijunjung tinggi. Karena untuk bisa memperoleh status kewarganegaraan dari negara lain, seseorang tentunya harus melawati berbagai prosedur, dimana salah satunya yaitu mengucap sumpah setia terhadap negara tersebut. Tentu akan menjadi aneh saat seseorang memiliki dua kewarganegaraan, dimana orang tersebut berikrar sumpah setia pada dua bangsa yang berbeda. Lantas dimana letak nasionalismenya? Jika alasannya hanya untuk memuluskan jalan seseorang dalam berkarier, tentu bukan berarti harus menaggalkan status kewarganegaraannya. Karena, tanpa harus melepas status kewarganegaraan sekalipun kita tentunya masih dapat berkarier di bidang yang kita sukai. Atau akan jauh lebih baik ketika telah selesai menimba ilmu, pulang ke negeri sendiri untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh dan memberikan kontribusi untuk kemajuan bangsa sendiri. Bukankah ada pepatah yang mengatakan, “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang”. Lantas, masih perlukah Revisi Undang-Undang dilakukan untuk membuka peluang bagi WNI memperoleh status kewarganegaraan lain dan berikrar sumpah setia pada dua negara ? Apapun alasannya, seperti yang telah disebut di atas, rasa nasionalisme dan cinta terhadap tanah air tentunya harus tetap dijunjung tinggi.

Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-71 tahun, semoga ke depan bangsa ini dapat lebih baik lagi. Amin

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun