Mohon tunggu...
Rakyat Jelata
Rakyat Jelata Mohon Tunggu... -

saya hanya rakyat jelata....\r\nmemandang dari sudut rakyat jelata... itulah saya rakyat jelata...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Terkooptasinya Gerakan Dalam Kenyamanan

16 Mei 2012   17:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:12 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Periode pergerakan mahasiswa 1966,1974, dan 1998 sudah lama usai masa kejayaannya. Kita membaca dan mendengarkan cerita kejayaan heroic mereka dengan begitu bangganya dan berharap kita (Mahasiswa kontemporer) bisa mengulangi sejarah . Mereka(mahasiswa angkatan 66,74,dan 98) telah menyelesaikan tugas mereka sebagai mahasiswa reformis, yang menginginkan pembaharuan di Negara yang tercinta. Mereka membangun pergerakan mahasiswa dengan penuh semangat dan tekad yang integral untuk bangsa,walaupun mereka harus berhadapan dengan tembakan sejata dan tindakan represif dari aparat keamanan ,yang menganggapnya sebagai penjahat ketertiban.

Dewasa ini,memoria sejarah tersebut tak bisa kita ulangi kembali. Minimal mendekati sejarah yang mereka sudah cantumkan di kertas sejarah bangsa. Banyak yang mengatakan kita tidak akan bisa seperti para pendahulu kita,karena masa mereka dengan masa kita telah jauh berbeda. Masa kita adalah era millennium. Harus diakui memang kita hidup di era millennium,namun apakah alasan tersebut dapat jadi pembenaran kita untuk tidak melakukan pergerakan mahasiswa dan perubahan negeri? Saya rasa itu bukan alasan yang mutlak.

Mahasiswa adalah pilar demokrasi. Tak pantas hanya karena masa dan zaman yang berbeda, lantas kita tidak berbuat untuk perubahan negeri. Mahasiswa kontemporer telah dikangkangi oleh kenyamanan yang telah hinggap dalam iklim pergerakan. Kenyamanan telah melemahkan pemikiran dan militansi mahasiswa. Benar apa yang dikatakan ustadz Rahmat Abdullah yang menganalogikan kenyamanan dan manusia ibarat angin sepoi-sepoi dengan seekor monyet. Monyet akan sulit jatuh dari pohon karena angin topan ataupun badai,sebab monyet tersebut akan berpegangan dengan kuat pada pohon tersebut. Namun monyet tersebut akan cepat jatuh dari pohon karena angin sepoi-sepoi,sebab monyet merasakan keyamanan luar bias,akhirnya membuat dia melepaskan pegangannya pada pohon dan jatuh.

Kita wajib dan harus mengambil pelajaran dari analogi diatas,walaupun pada hakikinya kita bukan monyet . Namun pada saat kita lengah dengan kenyamanan, maka kita tak ubahnya seperti monyet.

Terkooptasinya pergerakan dalam kenyamanan adalah hal yang memalukan bagi kita selaku reformis baru (Mahasiswa kontemporer). Bukan hanya malu yang kita rasakan, kesengsaraan pun akan kita rasakan. Kenyamanan yang membuat kita terkooptasi,hanyalah kenyamanan sesaat yang bisa jerumuskan kita ke dalam pragmatisme. Seandainya kita terkooptasi dalam kenyamanan secara permanen,maka siapa yang akan mengawasi pemerintah di Negara ini? Akankah nenek yang sudah tak gigi? Ataukah anak-anak SD yang belum tahu rumitnya kehidupan?

Zaman memang sudah berbeda sobat, waktu terus bergulir, dan perubahan pasti terjadi. Namun tak pantaslah kita (mahasiswa kontemporer)) hanya mampu berpangku tangan. Kita bukan generasi yang kerdil, generasi yang hanya menikmati perubahan. Kita adalah generasi reformis baru,yang siap berikan perubahan bagi bangsa dan Negara, sampai terwujudnya baldatun toyibatun wa rabbun ghaffur.

Tak mungkin ada invisible hand yang akan menyelamatkan bangsa dan Negara ini. Itu hanya sebuah angan-angan yang dibesarkan oleh para kapitalis. Allah tidak akan dengan sendirinya menolong kita tanpa kita melakukan perubahan sendiri pada diri kita. Akhir tulisan ini,saya teringat pesan bijak dari seorang motivator muslim bahwa yang menghubungkan antara idealita dan realita adalah kemauan. Jika kita memiliki kemauan yang besar, maka apa yang kita cita-citakan memiliki kesempatan yang besar untuk menjadi kenyataan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun