ALERGI
Persoalan dalam dunia musik memang kompleks dan memusingkan bagi orang yang terjun langsung didalam dunia praktisi, pengamat, maupun pendidik musik. Perbedaan perspektif dan mazhab berpikir yang tidak hanya dengan satu jalan membuat kritikus satu dengan lainnya, pemusik satu dengan lainnya, pendidik satu dengan lainnya, saling meramu argumen demi mempertahankan produk intelegensinya yang paling ilmiah. Namun untuk pendengar musik yang awam, mungkin persoalan tersebut tidak ada urusan dengan kehidupannya.Â
Mereka (pendengar awam) kerap kali di hapuskan keberadaannya, mengingat para cendekia musik biasanya alergi dengan kata industri (menurut pengalaman saya) yang akhirnya semua dipukul rata bahwa selera pasar selalu buruk dan tak bergengsi untuk dilakukan uji penelitian. Hasilnya, pendengar tak punya pilihan, ia santap semua produk industrial yang disuguhkan oleh oknum yang mungkin tidak paham ilmu musik sama sekali. Mulailah sedikit demi sedikit industri musik meluntur kewibawaannya.Â
Proses kreatif sudah menjadi metode yang usang, yang paling penting bisa menjual, viral, persetan dengan tingkat mutu musiknya. Selama pendengar bisa larut dalam bius-bius kepasrahan, tak ada lagi yang dikhawatirkan, industri "kacang gorengan" yang akan terus mendominasi.Â
KESALAHPAHAMAN
Keadaan menurut saya sudah menjadi semakin chaos. Teringat pada tahun lalu ketika "Indonesia Raya" menjelma menjadi versi bebunyian kekinian yang sebenarnya merupakan kesalahan interpretasi nilai dan kesalahan penafsiran hukum, lalu semakin kacau ketika sosok pemecah masalah bukan dari cendekia musik yang sebenarnya, melainkan hanya pelaku musik industri yang banyak subscribers di akun Youtube nya.Â
Semua menjadi semakin abu-abu, baik dari perspektif hukum dan musik, dikarenakan sang arranger yang salah tempat dalam meluapkan jiwa nasionalisme-nya dan terjadi cuitan komentar antara yang pro dan kontra. Lalu beberapa bulan lalu kasus "sunset di tanah anarki" yang menjadi sengketa perizinan dan interpretasi pembawaan musiknya, mirip dengan kasus "Akad" yang sudah di monetize tanpa izin oleh musisi cover di platform digital pada 2 tahun lalu. Semua serba kacau, apalagi sudah ada campur tangan netizen yang berkicau, mendadak menjadi pakar bidang , padahal tak satu solusipun ia tandang.Â
KURANGNYA SOSIALISASI
Lalu persoalan hak cipta yang ternyata belum diketahui banyak penggubah musik, pengguna musik, serta penikmat musik. Ini fatal, sebab dalam prakteknya yang bersangkutan (badan hukum, akademisi, media) Â gagal mengedukasi khalayak umum tentang seluk beluk hak intelektual. Bagaimana mau mengedukasi, banyak dari musisi akademis menggunakan partitur repertoar musik dengan cara copy sana-sini tanpa tahu etika penggunaannya.Â
Sebenarnya informasi di internet dan buku sudah banyak yang memaparkan tentang seluk beluk hak intelektual, hanya saja didalam prakteknya birokrasi Indonesia belum siap dengan pelayanan tersebut. Sedangkan teknologi sudah semakin maju, sistem online sudah nyata dalam kehidupan berwarta. Tiap detik informasi diakses, dari musik zaman kolonial sampai millenial tersaji di layar gadget kita. Maka jika hak cipta masih juga menjadi kendala, sebaiknya menjadi perenungan di segala lini kehidupan ekosistem masyarakat musik dan pemerhati hukum untuk segera membuat kebijakan yang praktis solutif.
HASRAT APRESIASI YANG TAK BERIMBANG