Dengan semangat menggebu Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyatakan bahwa social-commerce Tiktok resmi dilarang. Beliau mengatakan bahwa cara ini akan membuat pedagang offline di Pasar Tanah Abang dan Pasar Asemka akan kembali bangkit.
Zulkifli Hasan bahkan terpantau memborong banyak barang di Pasar Tanah Abang beberapa hari setelah aturan tersebut dikeluarkan.
Pria yang akrab disapa Zulhas ini mengatakan, kunjungannya sekaligus untuk mendengar keluh-kesah pedagang di pasar terbesar di Indonesia tersebut.
Kondisinya menjadi seru saat ada pengunjung yang protes Tiktok Shop ditutup. Pasalnya dia berbelanja barang di Pasar Tanah Abang untuk dijual di platform social-commerce tersebut.
Namun Mendag Zulhas berkeras bahwa pelarangan Tiktok merangkap sebagai e-commerce bertujuan untuk membantu penjual di Pasar Tanah Abang yang dagangannya sepi. Dengan dilarangnya Tiktok Shop, beliau berharap orang akan kembali langsung.
Tetapi apakah solusi ini sudah tepat sasaran?
Pedagang pasar sendiri sebenarnya masih terbelah mengenai hal ini. Ada yang setuju karena menurut mereka hanya Tiktok Shop yang berbuat curang. Namun banyak pula yang mengatakan musuh sebenarnya justru bukan Tiktok Shop.
Saya termasuk orang yang tidak setuju pelarangan Tiktok Shop ini. Karena ada ratusan, bahkan mungkin ribuan pedagang lokal yang bergantung hidup di sana. Banyak contoh pedagang biasa yang paham caranya, dan berhasil berjualan di sana.
Pelarangan Tiktok Shop hanya memindahkan oknum pelaku predatory pricing ke platform lain. Mereka paham cara mainnya sehingga seharusnya bisa dengan mudah berpindah platform.
Membatasi penjualan langsung lintas negara juga bukan solusi tepat. Seperti yang saya katakan di artikel sebelumnya, banyak pemain yang meminjam identitas warga lokal untuk membuka toko di e-commerce. Tetapi sebenarnya produk yang dijual tetap saja statusnya dikirim langsung dari luar negeri.