Belum selesai masalah penjualan cross-border di marketplace, kini muncul masalah baru lagi. Media sosial Tiktok mendadak bertransformasi menjadi platform social commerce yang begitu besar dan mendisrupsi cara orang bertransaksi.
Saya ingat persis saat awal Tokopedia muncul di sekitar tahun 2009. Situs belanja besutan William dan Leontinus tersebut juga punya fitur media sosial. Idenya adalah penjual bisa memperbaharui 'wall' mereka layaknya Facebook.
Rupanya masyarakat pada waktu itu kebingungan dengan dua hal sekaligus. Ini era belanja paling mentok di forum jual-beli, sehingga marketplace menjadi hal baru. Ditambah lagi ada platform serupa Facebook yang bisa dipakai berbelanja.
Mungkin dua hal baru dalam satu waktu terlalu berat kala itu. Sehingga Tokopedia lebih fokus pada aktivitas jual-beli. Fitur media sosial perlahan menghilang dari situs mereka seiring pencabutan status Beta mereka di tahun 2010 silam.
Berselang cukup lama sampai muncul tren berjualan di platform Facebook dan Instagram. Banyak toko online membuat katalog mereka di media sosial populer tersebut. Fenomena inilah yang membuat IG Shop dan Tiktok Shop kemudian muncul.
Hanya saja IG Shop tetap mengharuskan penjual memiliki situsnya sendiri. Semua transaksi akan diarahkan ke situs masing-masing toko tersebut. Berbeda dengan Tiktok Shop yang semua transaksinya bisa dilakukan di platform tersebut.
Tren social commerce yang dulu digagas Tokopedia kini menjadi fenomena luar biasa yang mendisrupsi cara orang berdagang. Sekarang yang dipikirkan bukan hanya produknya apa, tetapi juga konten apa yang menarik orang untuk datang.
Jadilah fenomena tukang obat di pasar malam kembali lagi. Mereka menarik minat orang untuk mendekat dan melihat-lihat terlebih dahulu. Jika sudah ada massa, baru mereka menawarkan produk jualannya. Hanya saja sekarang dilakukan secara digital.
Sekarang posisinya bukan lagi "mau pakai bagus, nggak ya sudah" karena sifat Tiktok Shop yang disruptif. Pedagang seakan diwajibkan memakai platform tersebut kalau tidak ingin kehilangan pasar. Tentu jika memakai platform mereka, harus siap ikut cara main mereka.
Perang harga di Tokopedia dan Shopee saja sudah membuat pedagang pusing. Ditambah biaya admin di kedua platform yang terus melonjak. Sekarang kondisinya bertambah suram karena perang harga di Tiktok Shop lebih gila.
Saya pernah membeli coklat crunchy yang di pasaran Banjarmasin dijual 46ribu rupiah, di Tiktok Shop berada di kisaran 12ribu hingga 15ribu per kilo. Harga jual yang tidak lagi masuk akal jika memang ingin berdagang untuk mendapat untung.
Tiktok berkilah kalau fenomena ini bukan ulah mereka. Penjual sendiri yang melakukan perang harga sampai ke taraf destruktif tersebut. Mereka yang bermodal besar sedang berusaha menghancurkan pedagang yang lebih kecil untuk memonopoli pasar.
Apalagi produk cross-border juga belum tuntas di negeri ini. Produk bisa langsung dikirim langsung dari Tiongkok dengan harga yang sangat murah. Beberapa juga disertai promo gratis ongkir dari platform yang menyelenggarakan cross-border shopping.
Saya juga pernah membeli jam tangan yang dikirim langsung dari pabriknya di Tiongkok. Hanya membayar 24ribu dan jam tangan diantar ke rumah saya. Bukan barang asal jadi, jam tersebut bertahan hingga beberapa tahun.
Sungguh tidak masuk akal tentu saja. Ongkos kirimnya saja sudah pasti di atas 24ribu. Apa lagi tujuan mereka jika tidak ingin menghancurkan pemain lokal di dalam negeri?
Pemerintah Indonesia sendiri sempat menyatakan dukungan terhadap sistem cross-border shopping ini. Terutama karena produk Indonesia bisa dijual langsung ke pasar global melalui platform Shopee. Namun ternyata sistem ini lebih banyak pengaruh negatifnya untuk para UMKM lokal yang sulit bersaing.
Kita sepertinya sudah melampai titik yang dikenal dengan point of no return. Kondisi masyarakat sudah terbiasa berbelanja online melalui marketplace dan social commerce. Dan mereka juga sudah menganggap bahwa harga murah di platform tersebut adalah wajar, sedangkan harga aslinya justru dianggap kemahalan.
Mau melarang Tiktok Shop juga sepertinya diskriminatif. Ada social commerce lain yang walaupun tidak sepopuler Tiktok Shop, tetapi perputaran uangnya juga besar. Tengok saja startup milik Denny Santoso, Tribelio.
Menurut saya tidak ada yang salah dengan konsep social commerce. Toh sebelum mereka ada juga banyak akun media sosial yang dipakai berjualan. Tidak salah kalau platform melihat potensi jika memfasilitasi mereka agar tidak ke platform lain.
Mau membatasi keberadaan penjual cross-border? Saat ini saja sudah banyak pemain asing yang menggunakan identitas warga lokal untuk membuka toko. Jadilah mereka terlihat seperti toko lokal, tetapi saat barangnya dibeli ternyata pengirimannya internasional.
Ini sudah menjadi perang UMKM Indonesia dengan pabrik-pabrik besar dari luar negeri seperti Tiongkok. Sudah pasti akan sangat sulit memberantas pemain asing ini, tetapi tidak bisa juga dibiarkan.
Melarang keberadaan social commerce sepertinya memang opsi yang dipilih pemerintah. Lagi-lagi bukan karena paling efektif, melainkan karena ini adalah opsi termudah yang bisa mereka pikirkan.
Seandainya Tiktok Shop dilarang, penjualan cross-border tetap akan berlanjut. Mungkin akan kembali ke marketplace seperti Lazada dan Shopee. Perang UMKM melawan raksasa produsen luar negeri tetap saja akan berlangsung.
Semoga saja tulisan saya ini bisa menyadarkan kamu tentang permasalahan sebenarnya. Dan tentu saja segera ada solusi nyata untuk mencegah UMKM kita berbenturan langsung dengan produsen besar skala internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H