Saya pernah membeli coklat crunchy yang di pasaran Banjarmasin dijual 46ribu rupiah, di Tiktok Shop berada di kisaran 12ribu hingga 15ribu per kilo. Harga jual yang tidak lagi masuk akal jika memang ingin berdagang untuk mendapat untung.
Tiktok berkilah kalau fenomena ini bukan ulah mereka. Penjual sendiri yang melakukan perang harga sampai ke taraf destruktif tersebut. Mereka yang bermodal besar sedang berusaha menghancurkan pedagang yang lebih kecil untuk memonopoli pasar.
Apalagi produk cross-border juga belum tuntas di negeri ini. Produk bisa langsung dikirim langsung dari Tiongkok dengan harga yang sangat murah. Beberapa juga disertai promo gratis ongkir dari platform yang menyelenggarakan cross-border shopping.
Saya juga pernah membeli jam tangan yang dikirim langsung dari pabriknya di Tiongkok. Hanya membayar 24ribu dan jam tangan diantar ke rumah saya. Bukan barang asal jadi, jam tersebut bertahan hingga beberapa tahun.
Sungguh tidak masuk akal tentu saja. Ongkos kirimnya saja sudah pasti di atas 24ribu. Apa lagi tujuan mereka jika tidak ingin menghancurkan pemain lokal di dalam negeri?
Pemerintah Indonesia sendiri sempat menyatakan dukungan terhadap sistem cross-border shopping ini. Terutama karena produk Indonesia bisa dijual langsung ke pasar global melalui platform Shopee. Namun ternyata sistem ini lebih banyak pengaruh negatifnya untuk para UMKM lokal yang sulit bersaing.
Kita sepertinya sudah melampai titik yang dikenal dengan point of no return. Kondisi masyarakat sudah terbiasa berbelanja online melalui marketplace dan social commerce. Dan mereka juga sudah menganggap bahwa harga murah di platform tersebut adalah wajar, sedangkan harga aslinya justru dianggap kemahalan.
Mau melarang Tiktok Shop juga sepertinya diskriminatif. Ada social commerce lain yang walaupun tidak sepopuler Tiktok Shop, tetapi perputaran uangnya juga besar. Tengok saja startup milik Denny Santoso, Tribelio.
Menurut saya tidak ada yang salah dengan konsep social commerce. Toh sebelum mereka ada juga banyak akun media sosial yang dipakai berjualan. Tidak salah kalau platform melihat potensi jika memfasilitasi mereka agar tidak ke platform lain.
Mau membatasi keberadaan penjual cross-border? Saat ini saja sudah banyak pemain asing yang menggunakan identitas warga lokal untuk membuka toko. Jadilah mereka terlihat seperti toko lokal, tetapi saat barangnya dibeli ternyata pengirimannya internasional.
Ini sudah menjadi perang UMKM Indonesia dengan pabrik-pabrik besar dari luar negeri seperti Tiongkok. Sudah pasti akan sangat sulit memberantas pemain asing ini, tetapi tidak bisa juga dibiarkan.