IBU bukan seorang pelukis seperti ayah, tapi ia gemar melukis wajahku. Kali pertama, ibu melukis wajahku seperti boneka Barbie lengkap dengan rok mininya. Kali kedua, ibu melukis wajahku seperti Cinderella tanpa sepatu kaca. Aku tak tahu, mengapa ibu gemar melukis wajahku. Pernah ibu bilang kepadaku, bahwa aku harus bangga menjadi anak perempuan. Sebab, sejelek-jeleknya anak perempuan mudah untuk didandani menjadi cantik. Tidak halnya dengan anak laki-laki. “Coba kau lihat tanah liat. Ia kotor dan jelek bukan?! Tapi dengan tangan-tangan yang terampil, ia berubah menjadi guci-guci yang cantik juga gerabah-gerabah yang kuat. Seperti itulah anak perempuan,” begitu kata ibu.
Sungguh, aku tak mau disamakan dengan tanah liat. Aku juga tak mau menjadi boneka bagi ibu. Hari ini, aku dipakaikannya gaun putih nan cantik. Esok hari, dipakaikannya aku rok mini. Lusa, aku dipakaikannya kebaya. Bukankah aku lebih mirip boneka?! Berganti-ganti busana sesuai kehendak yang empunya. Aku benar-benar tak mau menjadi boneka bagi ibu.
***
“Kau harus membantu ibu, Mel! Kau akan ibu jadikan anak perempuan yang paling cantik di dunia ini. Seperti apa yang pernah nenekmu lakukan pada ibu. Kau sangat beruntung hidup di zaman sekarang ini. Peralatan make up sekarang jauh sangat lengkap bila dibandingkan ketika ibu kecil dulu. Sekarang, seorang gembel pun bisa disulap dengan seketika menjadi seorang putri cantik. Tapi kamubukan seorang gembel. Wajahmu memang sudah cantik, namun tetap perlu untuk sedikit dipoles.
Kau harus menjadi anak perempuan yang paling cantik di dunia ini. Zaman ibu kecil dulu, kontes-kontes pemilihan model seperti itu sangat jarang sekali. Padahal, nenekmu sudah mendandaniku habis-habisan. Apa mau dikata, kesempatan untuk menang itu tak pernah datang. Kau sungguh-sungguh beruntung Mel. Maka dari itu, kau harus menurut kepadaku. Aku tak akan menjerumuskanmu. Ibu mana yang tak ingin yang terbaik untuk anak perempuannya?!”
Suara ibu terngiang-ngiang di antara gantungan-gantungan baju dalam lemari kayu ini. Lemari ini memang cukup besar dan tinggi. Tingginya saja hampir dua meter, lebarnya hampir satu meter sedangkan panjangnya hampir tiga meter. Aku senang bersembunyi dalam lemari ini. Entahlah, aku merasa nyaman dalam dekapan gantungan¬gantungan baju, pun selimut yang terkadang membalut tubuhku. Lemari ini seperti memiliki suatu kekuatan yang dapat melindungiku dari dunia luar.
Aku merasa lemari ini makin sesak. Gantungan-gantungan baju semakin rapat, seolah-olah satu sama lainnya saling mendesak ingin keluar. Memang belakangan ini, ibu sering memborong baju untukku. Ibu bilang, “Anak perempuan tak boleh memakai baju yang sama lebih dari satu kali jika pergi keluar. Apa kata orang nanti? Masak seorang model hanya punya satu baju.” Maka, ibu kerap memborong baju untukku. Walau terkadang, ada yang pernah tak terpakai sekalipun olehku.
Aku berjongkok di bawah gaun pesta yang putih mengembang. Aku ingat gaun itu. Gaun itu adalah gaun pertamaku ketika mengikuti lomba. Gaun itu juga yang mengantarkanku meraih juara satu dalam pemilihan model cilik. Semua juri dalam kontes itu menilai diriku amat cocok dengan gaun yang kupakai. Cantik. Serasi. Seperti putri-putri raja kala itu. Sungguh, aku amat senang dikatakan seperti itu. Ayah memang sering membacakan dongeng tentang putri yang cantik jelita menjelang aku tidur. Setiap malam pula, aku minta dibacakan dongeng itu. Ah, sekarang aku sudah menjadi putri. Berarti, aku tinggal menunggu kedatangan pangeran tampan beserta kudanya yang gagah.
Aku tersenyum-senyum sendiri mengingat kenangan itu. Tepat di samping kanan gaun putih itu, tergantung sebuah tank top lengkap dengan rok mininya. Itu busana keduaku dalam mengikuti pemilihan model cilik lainnya. Dengan busana ini juga aku meraih juara satu. Kata semua orang yang hadir di situ, aku terlihat seksi dibalut busana itu. Apalagi ditambah dengan gincu merah di bibirku yang merekah. Aku menjelma menjadi anak perempuan terseksi kala itu. Bahkan, teman laki-laki sebayaku tak lagi mengenali. Bibirku yang penuh gincu ditatapnya penuh nafsu.
Hampir satu jam aku bersembunyi dalam lemari.”Mel, Melly! Kau ada di mana?” suara ibu memanggil¬manggilku. Aku tak mau menjawab. Aku tak perduli.
***
“Kau harus melanjutkan cita-citaku yang kandas. Menjadi model dan terkenal, begitu cita-citaku dulu. Kau memang mewarisi rupa yang cantik dariku dan nenekmu. Ketika aku hamil dirimu, aku amat senang sekali mengetahui bahwa bayi yang aku kandung adalah perempuan. Apalagi ketika kau lahir. Kau memang bayi perempuan yang cantik. Kami semua menyambutmu dengan penuh suka cita. Tak akan kubiarkan segala sesuatunya merusak kecantikanmu.
Kau tumbuh seperti anak perempuan lainnya. Bermain boneka, sesekali juga petak umpet. Tapi, tak akan aku ijinkan untuk memanjat pohon juga bermain lempar batu. Aku tak mau kau terluka dan kotor. Kau harus tampak bersih dan cantik. Kulit tubuhmu yang halus dan putih bersih, tak akan kubiarkan sedikitpun sinar matahari menyengatmu. Kau harus aku jaga dari hal-hal yang bisa merusak kecantikanmu. Kecantikanmulah yang akan melanjutkan cita-citaku.
Sejak kau kecil, aku ajarkan kau memoles gincu. Menyisir rambut, juga menaburkan bedak di pipimu yang halus. Cara berjalan yang baik serta segala macam pengetahuan merawat diri bagi seorang perempuan telah aku ajarkan. Semua itu kelak akan menjadi bekalmu dalam mewujudkan cita-citaku. Kau harus tahu itu. “Ibu, aku malu memakai gincu, sebab anak laki-laki memandangku penuh nafsu, kadang juga meledekku!” begitu katamu suatu waktu. Lalu, aku jelaskan kepadamu, bahwa bibir perempuan memang harus dipoles dengan gincu. Biar saja anak laki-laki memandangmu penuh nafsu. Berarti mereka sudah tertipu olehmu. Bukankah dengan gincu, kita— perempuan mampu menundukkan laki-laki?!
Dalam hidup ini, ada yang harus ditaklukkan agar kita bisa terus hidup. Jika anak laki-laki itu memandangmu penuh nafsu, maka sesungguhnya ia sudah takluk olehmu. Kalau anak laki-laki lain meledekmu biarkan saja. Aku yakin, dalam hati mereka pasti cemburu kepadamu. Sebab, bibir laki-laki tak elok dipoles gincu. Kau tak perlu khawatir tentang itu.”
Ah, ya! Ibu memang benar tentang itu. Tapi, aku malu memakai gincu. Gincu membuatku jauh lebih tua dari usiaku yang sebenarnya.
***
Suara ibu yang berputar-putar dalam relung telingaku sudah hilang sekarang. Bau harum selimut biru, tiba-tiba menggugah hidungku. Selimut biru yang pernah ayah berikan untukku. Ayah bilang, bahwa selimut biru itu akan menyembunyikanku di kala takut. Ayah sekarang sudah tak ada. Sudah lama aku tak bertemu dengan ayah. Mungkin sudah beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu hari aku tak berjumpa dengan ayah. Yang aku ingat, ayah meninggalkan rumah ketika usiaku genap enam tahun. Di hari ulang tahunku itu ayah memberi selimut biru. Hingga berhari-hari kemudian, aku tak pernah melihat ayah lagi di rumah.
Kata nenek, ayah meninggalkan rumah sebab tak sepaham dengan ibu. Aku tak perlu bersedih, sebab orang dewasa memang harus menyelesaikan masalahnya dengan caranya sendiri-sendiri. Bagiku—yang masih kecil ini, tak perlu risau juga bersedih. Sebab, ibu dan nenek akan terus menjagaku, dengan atau tanpa ada laki-laki di rumah ini. Aku tak perlu khawatir dan takut, begitu kata nenek. Ah, aku tak pernah merasa takut, sebab selimut biru dari ayah juga akan melindungiku. Seperti yang pernah ayah katakan kepadaku.
Duh, aku jadi rindu ayah. Di mana ayah sekarang? Aku tak pernah tahu. Terkadang, ayah memang mengunjungiku, apalagi tiap kali aku berulang tahun. Ayah selalu memberi kado untukku. Di usiaku yang ke-10, ayah pernah memberiku sebuah buku gambar lengkap dengan krayonnya. Ayah tahu bahwa aku gemar menggambar. Ayah juga yang pertama kali mengajariku menggambar. Tapi, ibu tak suka aku menggambar. Begitu ibu tahu, kado ayah berupa buku gambar, ibu langsung membuangnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak rela ibu merampas kesenanganku. Aku benci ibu!
Aku jadi berpikir, mungkin ini yang menyebabkan ayah meninggalkan rumah. Mungkin ibu juga tak suka dengan ayah yang senang menggambar, dan menjadikannya sebagai sebuah pekerjaan yang ditekuninya. Aku harap, ini bukan alasan mereka berdua untuk berpisah. Ya, semoga saja.
Sejak ibu merampas kesenanganku untuk menggambar, sejak itu pula aku terus menggambar dalam benakku. Aku terus menggambar ibu yang wajahnya aku serupai dengan monster berwajah sangar. Dalam benakku, aku tuntaskan kebencianku pada ibu sekaligus meraih kesenanganku dalam menggambar. Entah sampai kapan, aku terus menggambar wajah ibu.
***
“Melly! Ternyata kau ada di sini! Ayo cepat keluar dari lemari ini. Kau ini sudah berumur 24 tahun masih saja suka bersembunyi dalam lemari, seperti anak kecil saja. Ayo cepat keluar!” ibu terus bicara sambil menarik tanganku.
“Ayo cepat kau duduk di meja rias. Biar ibu yang mendandanimu. Jangan sampai kita telambat lagi. Minggu lalu, acara pemilihan model cilik itu batal, gara-gara kau datang terlambat dan tak mau menjadi juri. Padahal, ibu sudah terima honornya. Kau bikin malu saja. Sudah menjadi model, tapi kelakuanmu masih seperti anak kecil saja. Seharusnya kau bangga menjadi juri pemilihan model, sebab kau dulu berangkat dari pemilihan model cilik seperti itu juga.” Ibu terus saja bicara sambil melukis wajahku.
Ibu bukan seorang pelukis seperti ayah, tapi ia gemar melukis wajahku. Diam-diam aku juga terus menggambar wajah ibu dalam benakku.
Kedaton, Maret 2006
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H