Mohon tunggu...
Andrian Wahyu Jati
Andrian Wahyu Jati Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanjakan Cinta

14 April 2014   10:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:42 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kubenarkan letak duduk, sedikit bergeser ke kiri. Mencari pijakan yang aman. Aku tak mau tergelincir dari bukit yang curam ini. Sebatang rokok yang masih belum menyala terselip diantara dua bibirku, sengaja aku tak menyalakannya. Aku ingin menikmati manisnya. Angin dingin terasa sejuk menerpa wajah, menjamah seluruh permukaan kulit di tubuhku. Pada ketinggian ini aku bisa melihat semuanya. Kulihat angka digital di jam tanganku, 05:07. Kembali kupalingkan pandangan. Menikmati jamuan semesta yang dihidangkan padaku.

Aku tak ingin melewatkan kesempatan liburan ini. Sudah lebih dari tiga bulan aku tak menginjakkan kaki di tanah-tanah liar yang penuh tantangan, mengasah fisik dan mental, menikmati indahnya alam Indonesia. Dan kini aku berada di sini, tempat istimewaku ketika masih kuliah di Kota Malang. Aku sering kesini, duduk di punggung bukit yang oleh penduduk sekitar disebut Gunung Banyak. Tempat yang cocok untuk me-refresh pikiran, inspiratif, dan satu yang paling penting adalah mudah dijangkau dengan kendaraan bermotor.

Rani, Falisa, Putri, Mila, dan Reni. Mereka adalah para gadis yang pernah kuajak kesini berdua. Anehnya, tak satupun dari mereka yang pernah menjadi pacar ku waktu itu. Hanya sebatas teman dekat, tidak lebih. Sebagai lelaki normal, aku senang punya banyak teman wanita. Aku juga sering berpikir untuk mengambil salah satu dari mereka menjadi kekasihku. Kebingungan menentukan pilihan menjadi masalahnya, mereka semua baik. Aku hanya tidak ingin mereka menjauh dariku ketika aku memilih salah satu dari mereka menjadi kekasihku. Entah pikiran bodoh macam apa yang terlintas dalam benak ku waktu itu.

Aku tersenyum mengingat kejadian waktu itu, lucu. Mataku menyipit karena ulah sang mentari yang mulai menampakkan dirinya diatas barisan Pegunungan Semeru. Sinarnya menembus awan yang bergerombol sejajar dengan pandanganku. Cahayanya membentuk efek Ray of Light seperti dalam istilah fotografi yang pernah aku pelajari. Terlihat seperti awan yang mengeluarkan cahaya ke bumi, sungguh indah. Dibawahnya, yang terletak dekat dengan tempatku duduk saat ini, terhampar areal persawahan yang menghijau. Nampak jelas pematang yang menjadi sekatnya, saling menyilang, membentuk kotak-kotak tak beraturan, yang membuatnya semakin indah.

Semakin jauh kulepas pandangan mata, petak sawah semakin jarang terlihat. Mulai menghilang diantara gedung-gedung tinggi Kota Batu. Semakin jauh lagi, semakin rapat bangunan yang ada disana. Kota Malang terlihat jelas dari sini, di ujung cakrawala terdapat barisan pegunungan yang seolah menembus langit. Itu adalah deretan pegunungan semeru, yang menjulang tinggi. Tanah tertinggi di Pulau Jawa.

Di sebelah kanan, kulihat Gunung Panderman dengan jelas. Hijau menyelimuti kulitnya, pohon pinus berjajar lebat. Jaraknya tak jauh dari tempatku duduk saat ini. Pemandangan dari sini tak banyak berubah sejak sembilan tahun yang lalu, hanya posisi matahari terbit agak bergeser ke sebelah selatan. Kembali kuarahkan pandanganku menatap rindu Gunung Semeru. Kuangkat tanganku, mengepal, jari telunjuk kuacungkan menghadap kebarisan pegunungan itu. Tanganku berjalan perlahan. Mengikuti alur pegunungan Semeru, dari ujung utara, hingga sampai di puncaknya di sisi sebelah selatan.

Asap tipis keluar dari puncak Semeru, aku masih bisa merasakan suara gemuruhnya dari sini, dalam pikiranku. Masih terekam jelas, seolah aku sedang berada disana, di jalur pendakian. “Hemm, jalur pendakian”, gumam ku perlahan, lesung pipi tercetak akibat senyumanku mengenang waktu itu. Pikiranku pun terbang.

***

Saat itu masih pagi, aku berkeliling di sekitar Ranu Kumbolo, sebuah danau yang terletak di jalur pendakian Gunung Semeru. Kamera DSLR tergenggam erat ditangan yang kaku karena dingin. Asap muncul dari permukaan danau, selalu bisa membuatku tercengang, selalu indah untuk di abadikan. Asap putih yang terbentuk karena adanya perbedaan suhu air dan lingkungan sekitar, membuat suasana di Kumbolo semakin tragis. Seperti di dunia dongeng, mistis, elegan, dan eksotis. Tak cukup kata-kata untuk menggambarkannya. Kuletakkan mata di ujung view finder kamera, sebongkah kayu yang tergeletak di atas danau menjadi bidikanku. Kuimajinasikan cerita dari apa yang akan ku potret, membentuk sebuah komposisi yang indah.

“Aduh.. duh.. duh!”, teriakku karena ada seseorang yang menepuk punggungku keras, dengan cekatan kupererat genggaman tanganku pada kamera yang hampir jatuh dan menyelam ke dasar danau.

“Fotoin gue dong”, pinta Falisa dengan manja, memasang tampang polos tanpa dosa dan sekali lagi memukul tubuh ku. Kali ini lengan kiriku yang menjadi sasarannya.

Dengan PeDe-nya dia memasang pose aneh, kakinya terendam sebatas mata kaki, kedua lengannya terangkat, sikunya membentuk sudut 45 derajat, kedua tangannya sejajar dengan pipi, jarinya membentuk simbol peace. Senyuman mengembang dari bibirnya, dengan kepala agak miring yang menjadi jurus andalannya.

“Ngapain lo pasang pose alien disitu”, candaku kepada Falisa.

“Ayolah mas, udah siap nih!”.

“Iya, iya, tiga...dua....satu”, bersamaan dengan hitungan terakhir, terdengar bunyi khas jepretan kamera.

“Lagi ya, posenya di ganti dong”, pintaku kepada Falisa.

“Siap bos”, Falisa merentangkan kedua tangannya lebar, matanya terpejam, hidungnya menghirup dalam-dalam, seolah sedang menikmati kesejukan sari surga.

Lebih dari sepuluh jepretan aku layangkan, masih belum bosan juga aku memotret Falisa dengan berbagai gaya. Aku selalu menikmati saat-saat mengambil gambar, apapun obyeknya. Dari semua pose yang dilakukan Falisa, favoritku adalah ketika dia duduk diatas batang pohon yang roboh. Separuh batangnya terendam air danau, Falisa duduk diatasnya. Kaki kirinya lurus kedepan, sedangkan yang sebelah kanan di tekuk, kedua tangannya memegang lutut kakinya yang tertekuk. Falisa menoleh kekiri, melayangkan senyumnya kearahku, dan kuabadikan momen itu.

“Ketenda yuk”, ajakku kepada Falisa. Ku ulurkan tangan ke arah Falisa, dia meraihnya. Matahari sudah semakin tinggi, sudah saatnya bergegas dan melanjutkan perjalanan. “Iya mas, gue juga sudah mulai lapar”, jawab Falisa, berakting dengan cara memegangi perutnya, alisnya menyatu, bibirnya manyun, terlihat tampang melas di wajahnya, memberi tanda kalau dia memang sedang kelaparan.

Falisa berjalan terlebih dahulu meninggalkanku. Aku masih sibuk dengan kameraku. Sesekali ku hentikan langkah, mengabadikan segala aktivitas yang menarik. Sekelompok pendaki sedang bergerombol menikmati sarapan. Salah satu dari mereka berteriak kearahku “Sarapan mas” sambil menunjukkan piringnya ke arahku. “Iya terima kasih, silahkan dilanjut”, jawabku dengan senyuman ramah.

Dipinggir danau, aku melihat dua orang muda-mudi, mungkin seusia denganku, mereka bercanda, berpegangan tangan. Rasa cemburu mencuat tiba-tiba dari dalam hatiku. Cemburu, aku juga ingin seperti itu. Aku juga ingin mempunyai kekasih. Tapi dengan siapa. Aku belum menemukannya.

Kulempar perasaan itu jauh-jauh, tinggi melambung ke angkasa, berharap semesta kan menangkapnya, menyampaikan rasaku kepada Tuhan, dan mengabulkannya. Aku berjalan mendekati tenda. Anak-anak sedang berkumpul di depan tenda, Wahyu sedang memasak sesuatu diatas kompor portable yang kami bawa. Sedang yang lainnya kulihat sedang bercanda, suara Lila yang sedang tertawa terdengar jelas sampai di telingaku. Padahal jarakku dengan mereka masih tiga puluh meter lebih.

“Benar-benar heboh nih anak”, gumamku, tersenyum kecil mendengar suara khas Lila yang terdengar serak-serak basah dan keras. Sesuai dengan tubuhnya yang tinggi. Cocok jika Lila menjadi model, tinggi 170 cm, kulitnya putih, rambutnya lurus sebahu. Benar-benar cantik. Sayangnya dia sudah menjadi kekasih Adi, sahabatku. Dan merekalah pasangan idolaku di kampus. Serasi.

Langkah demi langkah membawaku semakin mendekati mereka. “Pose-nya mana nih”, teriakku kepada mereka yang masih asik bercanda. Menyadari keberadaanku yang sedang siap siaga membidikkan kamera, satu persatu mulai memasang pose andalannya.

Mulai dari Lila yang menangkupkan kedua telapak tangan dan menaruhnya di pipi, memiringkan kepala sedikit kekanan, seperti orang yang mau tidur. Falisa duduk bersila, menggembungkan kedua pipinya, alisnya terangkat, telunjuknya menusuk di pipi kiri, membuatnya semakin imut. Para cowok pun tak kalah narsis. Adi meringis, memamerkan giginya. Alan pasang tampang sok cool, cuma senyum, matanya berkedip-kedip cepat. Wahyu yang sedari tadi sibuk memasak tak mau kalah, memasukkan sendok yang dipegang kedalam mulutnya, alisnya terangkat, seolah sedang menikmati apa yang dilahapnya. Dan jepreet.....

“Sudah matang belum nasinya Yu?”, tanyaku.

“Sudah bro, tuh”, Wahyu menunjuk ke panci besar yang masih tertutup.

“Tinggal nunggu sardennya”, sambung Wahyu sambil mengaduk daging-daging ikan dengan campuran bumbu rahasia perusahaan.

“Minum teh anget dulu bro”, sahut Alan, menyodorkan segelas teh yang panasnya sudah terbang bersama angin gunung.

“Thanks Lan, emang cuma lo yang paling pengertian sama gue”.

“Tai lo”, teriak si Adi sambil melemparkan sandalnya ke arahku. Disambung dengan gelak tawa yang lainnya.

“Lil, nih teh anget, mau kan?” aku mendekati Lila, tanganku menggelayut di pundaknya, berakting sok romantis. Kuarahkan gelas tepat di depan bibirnya. Kedua tangan Lila memegang gelas yang kuberi, teh manis mengalir lancar melalui kerongkongannya.

“Makasih Jun, kamu perhatian banget sama aku”, Lila memegang gelas di tangan kirinya, sedangkan tangan yang satu meraih belakang leherku. Aku menahan tawa.

“Tentu dong neng, biar neng kuat naik Tanjakan Cinta, aku yakin pasti neng mau berdoa untuk abang”, aku tak kuat lagi menahan tawa. Aku lepaskan tanganku dari pundak Lila, begitu juga dengan tangannya. Aku dan Lila tertawa sekeras-kerasnya, yang lain pun ikut tertawa, tanpa komando.

“Yu, aku sayang deh sama kamu”, Adi mengalihkan pembicaraan, menggoda Wahyu, bibirnya monyong seolah mau mencium Wahyu.

“Nih kompor, mau?”.

Kita semua kembali tertawa lepas, meramaikan suasana Ranu Kumbolo. Pagi yang ceria. Matahari merangkak naik, semakin tinggi, sinarnya memberi kehangatan, di tengah kepungan angin gunung. Asap putih masih menari-nari diatas permukaan air danau, jumlahnya semakin sedikit. Para pendaki lainnya mulai membereskan tenda, sebagian lainnya terlihat sudah melangkahkan kaki mereka di tanjakan cinta, tempat yang tak kalah tenar dengan Mahameru dan Ranu Kumbolo.

“Mas Wahyu, ini piring gue”, ucap Falisa menawarkan piring plastik hijau kepada Wahyu.

“Nggak usah pakai piring”.

“Trus pakai apa dong mas?”, tanya Falisa penasaran.

“Di, ambilin kertas minyak di carier gue”, perintah Wahyu kepada Adi. Falisa masih penasaran, pertanyaannya belum terjawab. Adi menata empat buah kertas minyak diatas mantel yang dijadikan alas. Adi paham betul maksud Wahyu, begitu juga denganku. Aku, Wahyu, Adi, dan Alan memang sering melakukan pendakian bersama, tak khayal jika kita paham karakter masing-masing, dan punya tradisi makan yang sama.

Alan mengambil panci yang berisi nasi, kemudian menuangkannya diatas kertas minyak yang tertata rapi. “Oh, gue paham sekarang”, kata Falisa. Wahyu menuangkan sarden diatas nasi, sedangkan aku menambahkan mie goreng di sekitarnya. “Ini baru special”, ujar Wahyu dengan bangga.

“Sebelum makan, mari kita berdoa terlebih dahulu, berdoa mulai”, perintah Wahyu sebagai pemimpin perjalanan ini.

“Berdoa selesai”, Lila dan Falisa mulai menancapkan sendoknya ke dalam hidangan. “Eits bentar dulu”, tahan Wahyu mengacungkan telunjuknya kearah Lila dan Falisa. Mereka berdua saling berhadapan, kebingungan, sedangkan aku, Adi dan Alan hanya tersenyum. “Cukup pakai satu sendok”, Wahyu menjelaskan kepada dua wanita yang masih penasaran dengan maksud Wahyu.

“Nih Jun, lo duluan”, Wahyu memberikan sendok kepadaku. Kuambil sesuap nasi dan kawan-kawannya. Giliranku selesai, sendok kuarahkan ke Alan, sekarang giliran dia. “Ooouuwwhh”, Falisa dan Lila menganggukkan kepala beberapa kali, mengakhiri rasa penasarannya.

Sebuah tradisi makan ala primitif, ide awalnya dari Adi, kita melestarikannya. Makan bersama, satu tempat, satu sendok, bergiliran. Menumbuhkan jiwa kebersamaan. Ada satu yang tidak makan, yang lainnya tidak makan juga, sesuai dengan urutan, membentuk lingkaran, hidangan berada di tengah-tengah. Nikmatnya saling berbagi. Dan mentaripun dengan ikhlas membagi sinarnya, angin membagikan semilirnya, dan Ranu Kumbolo membagikan indahnya kepada semua yang ada disini. Semuanya membentuk satu harmonisasi alam yang merdu.

“Mas, tanjakan cinta itu apa? kok tadi Mas Arjuna sama Mbak Lila ngomongnya aneh gitu”, lagi-lagi Falisa penasaran, bertanya kepada Wahyu yang duduk di sebelahnya.

“Ditanyain nih Jun, lo jelasin agih”, Wahyu mendongakkan kepalanya kearahku yang duduk tepat di depannya, dipisahkan oleh hidangan yang tinggal setengah.

“Lo aja deh Yu yang njelasin, secara lo kan pawangnya Semeru, hehehe”, ledekku kepada wahyu sambil membuat simbol kedamaian dari tangan.

“Jadi gini Lis ceritanya”, Wahyu memulai cerita. “Tanjakan itu dinamakan Tanjakan Cinta bukan hanya sekedar memberi nama, ada mitosnya. Para pendaki masih percaya bahwa siapapun yang mampu mendaki tanjakan cinta tanpa menoleh kebelakang sambil mengingat-ingat orang yang dicintainya, maka harapannya akan terwujud. Lo lihat dua bukit itu, bentuknya kan mirip love”.

“Syirik dong mas kalau begitu”, kata Falisa menyimpulkan.

“Iya tuh, sama dengan meminta sesuatu ke selain Allah”, tambah Lila.

“Semua itu kan tergantung pada siapa kita meminta”, aku coba menengahi. “Kalau kita meminta kepada tanjakannya, ya itu syirik, nggak punya otak juga. Tapi kalau kita memohon doa kepada Allah sewaktu menaiki tanjakan cinta, apa iya itu disebut syirik?”.

“Bener tuh kata Arjuna”, Alan angkat bicara sambil mengarahkan sendok makan kepadaku. “Siapa tahu tanjakan cinta merupakan salah satu tempat yang mujarab untuk berdoa atau meminta kepada Allah. Dalam Islam kan juga ada tuh penjelasannya, bahwa ada tempat-tempat khusus dimana doa kita bisa menjadi mujarab”.

“Iya ya, ada benernya juga tuh mas, jadi pengen nyoba”, kata Falisa. “Awas, hati-hati aliran sesat”, canda si Adi. Dan kita semua pun kembali tertawa.

Seusai menyantap hidangan spesial pagi ini, kita santai-santai sejenak. Wahyu sedang menikmati sebatang rokok, duduk menghadap ke danau, kedua kakinya dilipat hingga hampir menempel didada. Dia terlihat sedang menyelam ke dalam pikirannya, menikmati suguhan Ranu Kumbolo. Aku berjalan ke depan menghampirinya, duduk di sampingnya. Kunyalakan sebatang rokok. “Nggak ada bosennya ya Yu”, kataku. “Selalu”, jawab Wahyu singkat, padat, namun penuh makna. Kerinduanlah yang membuat aku, Wahyu, Alan dan Adi memahami bahwa keindahan alam ciptaan Allah tak akan pernah terasa membosankan. Meskipun dengan tempat yang sama, berulang kali melihatnya, sensasinya selalu berbeda.

“Lis, kalau mau nyuci, kotorannya jangan dibuang ke dalam danau, buat lubang dan kubur di luar danau”, teriak Wahyu kepada Falisa dan Lila yang membawa panci beserta gelas-gelas kotor sisa sarapan pagi. “Siap bos”, Falisa mengacungkan jempolnya, kini dia sudah mulai paham dengan cara main Wahyu.

“Gimana? semua sudah siap? kita berdoa dulu”, ucap Wahyu. Kita membentuk lingkaran dengan carier di pundak masing-masing. Seusai berdoa, Wahyu memerintahkanku dan Adi untuk jalan duluan. “Tak usah menunggu kami, bawaan kalian berat, tunggu diatas”, katanya. Aku dan Adi segera mematuhi perintah pimpinan. Kami tinggalkan Wahyu dan Alan yang bertugas menjaga Falisa dan Lila.

Aku tatap tanjakan cinta, terjalnya menjatuhkan mental. Jalan setapak mendaki ini cukup dilalui empat orang yang berjajar, menyibak semak-semak disekitarnya. Aku berjalan perlahan, begitupula Adi. Perlahan tapi pasti. Jalan menanjak tak perlu terburu-buru.

“Akhirnya sampai juga”, teriakku dengan nafas yang tersengal. Aku duduk bersandar di pohon sebelah kiri jalan setapak, Adi duduk di pohon sebelah kanan. Kedua pohon ini seperti pintu keluar dari siksaan di tanjakan cinta.

Lila dan Alan hampir mencapai setengah tanjakan, kelihatannya Lila lebih kuat daripada Falisa yang masih berada sekitar dua puluh meter dibawahnya bersama Wahyu. Kalau dari segi kekuatan, memang Wahyu yang paling kuat dalam hal daki mendaki, tapi dia dengan sabar menunggu Falisa yang lemah.

Lila dan Alan sudah sampai diatas, Lila mengambil posisi di sebelahku, Alan disebelahnya lagi, sedangkan Wahyu masih berada tiga puluh meter di bawahku, sabar menuntun Falisa.

“Ayo Lis semangat” teriak Lila dengan nafas yang masih tersengal. “Sabar bro, nih motor matic, nggak kuat nanjak”, teriak Wahyu dari bawah sana. Aku, Alan, Lila dan Adi tertawa kecil. “Bisa aja tu kampret”, kata Adi.

Wahyu dan Falisa mulai merangsek naik. Berhenti lagi. Falisa menunduk, memegangi lututnya, tetap membelakangi danau. Wahyu menghadap ke arah danau, menunggu Falisa mengumpulkan tenaganya. Wahyu mendekatkan kepalanya ke Falisa, sepertinya sedang mengatakan sesuatu, tangannya menunjuk ke arah danau. Falisa kulihat menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku tersenyum, sepertinya dia sedang konsentrasi berdoa dan membayangkan orang yang di cintainya. Wahyu terlihat tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.

Wahyu melompat-lompat, memukuli carier Falisa dengan tangannya. Seperti seorang kusir yang mencambuk kudanya agar bergerak lebih cepat. Mereka merangsek naik lagi, berhenti, naik lagi, berhenti lagi. Wahyu mengganti posisi di depan Falisa, menggandeng tangan Falisa. Mereka berdua melangkah perlahan, beriringan, bergandengan tangan. Suara berisik semak-semak yang diterpa angin seolah ikut menyemangati setiap langkah yang mereka jejakkan.

“Ayo Lis, sedikit lagi”, teriakku pada Falisa yang sekarang sudah lima meter dibawahku. Wahyu menarik tangan Falisa, posisinya berganti di belakang Falisa. Reflek, aku mengulurkan tangan ke Falisa, beberapa saat kemudian tangan Falisa menggenggam erat tanganku. Sekuat tenaga aku menariknya. Sengalan nafas terdengar keras dari hidung dan mulutnya yang berlomba-lomba menangkap oksigen. Falisa menunduk, tangannya ditumpukan pada kedua lututku.

“Cieee, yang lagi fokus berdoa, disini udah boleh nengok kok, tuh lihat”, kataku menunjuk ke arah danau.

“Kereeennn!”, jerit Falisa. Biru air Ranu Kumbolo memantulkan deretan bukit beserta pohon-pohon pinus yang mengelilinginya. Warna-warni tenda di tepiannya tampak sebagai penghias. Sekali lagi, aku berucap dalam hati. “Sungguh indah Indonesiaku, kutanamkan namamu dalam jiwa ragaku”.

“Siapa yang lo bayangin tadi? Wahyu atau Arjuna”, seloroh Adi menginterogasi Falisa.

“Rahasia dong, kepo banget sih mas!”, Falisa memonyongkan bibirnya ke arah Adi, diikuti lidahnya yang menjulur dua detik kemudian.

“Halah sok malu-malu, kalau gue kan udah jelas”, kata Adi sambil mengedipkan matanya kearah Lila yang duduk di depannya, disebelahku.

“Nggak ada yang nanya brooo!”, sahutku.

“Biarin! anggap aja berita, kalau lo Jun?”

“Kalau gue berdoa supaya....... dengerin baik-baik tapi”, kataku. “Iya bos”, kata mereka berlima serempak dan melempar kerikil kecil ke arahku. “Gue berdoa supaya Allah mengabulkan apa yang menjadi doa kalian di tanjakan cinta ini”, senyuman bangga menggembang dari bibirku. Aku selalu menggunakan kata-kata mujarab itu ketika berada disini, beberapa waktu lalu, saat mendaki dengan Rani, dan Putri aku juga mengatakannya. “Aamiin”, Falisa menangkupkan kedua tangan di wajahnya.

***

“Eits, hahaha”, tawakku mengembang ketika menoleh dan melihat Nadia, anakku yang sudah berumur lima tahun sedang bergelayut di punggungku. “Ayah, ayah”, teriak Nadia kepadaku. Jaket bulu angsa berwarna ungu yang dikenaknnya terlihat kotor terkena lumpur. “Nadia habis jatuh ya”, kataku manja kepadanya. Rokok yang terselip, sedari tadi belum sempat kunyalakan, kumasukkan lagi ke dalam bungkusnya.

Nadia menganggukkan kepalanya. “Tadi habis terpeleset disana”, kata istriku yang berjalan ke arahku, menunjuk ke tempat di mana Nadia jatuh tadi. “Nggak apa-apa, Nadia kan anak pintar”, rayuku ke Nadia.

Kupindahkan posisi Nadia ke depan, dipangkuanku. Istriku duduk di sebelah kiri. “Dek, kamu masih ingat ketika kita di sana”, kataku menunjuk ke arah Gunung Semeru.

“Tentu ingatlah mas”.

“Kamu masih ingat waktu Adi tanya ke kamu?”

“Tanya yang mana mas?”

“Waktu di tanjakan cinta”.

“Oooouwh”.

“Memang kamu dulu berdoa apa?”.

“Mau tau aja deh, rahasia dong mas, ntar mas cemburu”, katanya dengan mimik muka persis waktu itu. “Ayah Ayah, itu gunung apa?” tanya Nadia menunjuk ke Timur. “Itu namanya Gunung Semeru dek”. “Ayah sering lho naik kesana”, istriku menambahi. Dia tersenyum manis, akupun membalas senyumannya. Mata kita bertemu beberapa detik, sesaat kemudian pandangan kita berpaling menghadap Semeru.

“Dulu, aku berharap agar mas Arjuna bisa mencintaiku, karena aku mencintai mas Arjuna”, kata Istriku lirih.

“Sebenarnya aku juga berharap bahwa kamu bisa mencintaiku, karena aku mencintaimu Falisa” kataku.

“Eh kok ikut-ikutan, yeeee”, teriak Falisa manja, menengok kearahku, tangan kanannya dikalungkan ke leherku, tangan kirinya mengusap kepala Nadia.

Nadia tersenyum, Falisa tersenyum, akupun tersenyum. Kutatap lagi puncak Mahameru, disana tertinggal kenangan kisahku dengan Falisa, di tanjakan cinta, sebuah doa, sebuah harapan. Angin berhembus menerpa kami, sinar mentari pagi mulai menghangatkan tubuh, dan kurasakan semesta tersenyum kepadaku, Falisa, dan Nadia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun