[caption id="attachment_238516" align="aligncenter" width="300" caption="Eyang Kakung dan Eyang Putri di Syukuran 70 tahun Pernikahan"][/caption] Suatu hari 70 tahun yang lalu, seorang pemuda naik sepeda onthel menuju rumah sahabat lamanya.  Niat hati, hari ini dihabiskan untuk saling bertukar kabar.  Sudah berminggu-minggu mereka tidak berjumpa.  Jarak dua jam bersepeda sebenarnya bukan masalah.  Tapi beberapa minggu ini ada saja pesawat iseng yang menjatuhkan serangan udara.  Maka ketika beberapa hari berlalu tanpa sirene peringatan, sang pemuda pun segera mengayuh sepedanya. Sang teman dalam kondisi sehat, begitu pula dengan keluarganya.  Sang Pemuda dijamu dengan sangat sederhana, tapi pembicaraan hangat yang terjalin terasa sangat menyenangkan.  Lalu tiba-tiba terdengar jerit suara sirene di kejauhan.  Semua terdiam.  Serangan udara! Tanpa terlalu banyak keributan seluruh isi rumah berlari keluar.  Di halaman belakang ada sebuah bunker sederhana, digali di antara tanaman singkong.  Sang Pemuda melihat bahwa tetangga-tetangga keluarga temannya juga berlari ke arah yang sama.  Bunker ini dibuat untuk tempat perlindungan bersama. Di dalam, tak terlalu lapang, tapi juga tak terlalu berdesakan.  Semua diam menanti.  Terdengar suara ribut pesawat terbang rendah... dan dentuman di kejauhan.  Tak ada yang bisa dilakukan.  Seseorang menyalakan lentera, dan Sang Pemuda melihat sekeliling.  Selain keluarga temannya, ada dua keluarga lain.  Anak-anak kecil merapat pada ibu mereka, mata mereka memancarkan ketakutan.  Tak ada yang bicara,  seolah-olah jika mereka bersuara, pesawat pembawa maut itu bisa mendengar dan menemukan mereka. Lalu mata Sang Pemuda menangkap sosok seseorang.  Seorang Gadis, berdiri dekat dengan ibunya.  Sang Gadis menangkap pandangan mata pemuda.  Mereka bertatapan beberapa detik lamanya.  Dalam kondisi pengap, remang, dan ributnya suara dentuman di kejauhan, hanya satu kata yang melintas di kepala Sang Pemuda:  'Cantiknya  .... ' Hari itu,  Eyang Kakung dan Eyang Putriku bertemu.  Tanggal 17 Desember 1942 dalam sebuah pesta sederhana, akad nikah diucapkan.  Mereka kehilangan satu dari sepuluh anak yang dilahirkan berturut-turut dalam perjalanan pengungsian dari Jakarta ke Madiun.  Lalu pergi ke Bandung dengan sembilan anak beranjak remaja.  Eyang Kakung menghabiskan siang hari sebagai kepala stasiun kereta api dan sore hari sebagai guru.  Eyang Putri membesarkan sembilan anak di rumah dinas tepat di samping rel kereta di Kiara Condong.  Mereka melewati masa perang kemerdekaan, masa pemberontakan, masa pembangungan, masa reformasi.  Satu persatu anak mereka menikah, dan memberi mereka cucu.  Para cucu menikah, membawa cicit-cicit.  Walau mereka tak sanggup mengingat nama semua cicit mereka yang menggenapi keluarga besar sehingga berjumlah lebih dari 60 orang, mereka selalu senang melihatnya.  Eyang Putri harus kehilangan sebelah payudara karena kanker, kehilangan ketajaman ingatan, kehilangan satu lagi anak mereka yang mendahului mereka, dan kehilangan mobilitas tinggi yang dulu dimilikinya.  Eyang Kakung dua kali terkena stroke, tapi tidak membuatnya kehilangan daya pikir dan daya ingat tajam yang membuatnya mampu menulis dua belas jilid buku nasehat tulisan sendiri.  Di usia ke 93, barulah Eyang Kakung mengeluh bahwa badannya 'tidak seperti dulu lagi' karena harus memakai tongkat ketika berjalan.  'Maklum sudah manula!' begitu katanya.  Aku tertawa dan mencandainya 'Hahaha, Eyang baru 17 tahun kok!' [caption id="attachment_238514" align="aligncenter" width="300" caption="Buku nasehat untuk anak cucu"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H