Mohon tunggu...
Andriani Suryansyah
Andriani Suryansyah Mohon Tunggu... wiraswasta -

Photographer,Writer, Mother, Wife, http://anisuryansyah.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tujuh Puluh Tahun Bersama ...

18 April 2013   07:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:01 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_238516" align="aligncenter" width="300" caption="Eyang Kakung dan Eyang Putri di Syukuran 70 tahun Pernikahan"][/caption] Suatu hari 70 tahun yang lalu, seorang pemuda naik sepeda onthel menuju rumah sahabat lamanya.  Niat hati, hari ini dihabiskan untuk saling bertukar kabar.  Sudah berminggu-minggu mereka tidak berjumpa.  Jarak dua jam bersepeda sebenarnya bukan masalah.  Tapi beberapa minggu ini ada saja pesawat iseng yang menjatuhkan serangan udara.  Maka ketika beberapa hari berlalu tanpa sirene peringatan, sang pemuda pun segera mengayuh sepedanya. Sang teman dalam kondisi sehat, begitu pula dengan keluarganya.  Sang Pemuda dijamu dengan sangat sederhana, tapi pembicaraan hangat yang terjalin terasa sangat menyenangkan.  Lalu tiba-tiba terdengar jerit suara sirene di kejauhan.  Semua terdiam.  Serangan udara! Tanpa terlalu banyak keributan seluruh isi rumah berlari keluar.  Di halaman belakang ada sebuah bunker sederhana, digali di antara tanaman singkong.  Sang Pemuda melihat bahwa tetangga-tetangga keluarga temannya juga berlari ke arah yang sama.  Bunker ini dibuat untuk tempat perlindungan bersama. Di dalam, tak terlalu lapang, tapi juga tak terlalu berdesakan.  Semua diam menanti.  Terdengar suara ribut pesawat terbang rendah... dan dentuman di kejauhan.  Tak ada yang bisa dilakukan.  Seseorang menyalakan lentera, dan Sang Pemuda melihat sekeliling.  Selain keluarga temannya, ada dua keluarga lain.  Anak-anak kecil merapat pada ibu mereka, mata mereka memancarkan ketakutan.  Tak ada yang bicara,  seolah-olah jika mereka bersuara, pesawat pembawa maut itu bisa mendengar dan menemukan mereka. Lalu mata Sang Pemuda menangkap sosok seseorang.  Seorang Gadis, berdiri dekat dengan ibunya.  Sang Gadis menangkap pandangan mata pemuda.   Mereka bertatapan beberapa detik lamanya.  Dalam kondisi pengap, remang, dan ributnya suara dentuman di kejauhan, hanya satu kata yang melintas di kepala Sang Pemuda:  'Cantiknya  .... ' Hari itu,  Eyang Kakung dan Eyang Putriku bertemu.  Tanggal 17 Desember 1942 dalam sebuah pesta sederhana, akad nikah diucapkan.  Mereka kehilangan satu dari sepuluh anak yang dilahirkan berturut-turut dalam perjalanan pengungsian dari Jakarta ke Madiun.  Lalu pergi ke Bandung dengan sembilan anak beranjak remaja.  Eyang Kakung menghabiskan siang hari sebagai kepala stasiun kereta api dan sore hari sebagai guru.  Eyang Putri membesarkan sembilan anak di rumah dinas tepat di samping rel kereta di Kiara Condong.  Mereka melewati masa perang kemerdekaan, masa pemberontakan, masa pembangungan, masa reformasi.  Satu persatu anak mereka menikah, dan memberi mereka cucu.  Para cucu menikah, membawa cicit-cicit.  Walau mereka tak sanggup mengingat nama semua cicit mereka yang menggenapi keluarga besar sehingga berjumlah lebih dari 60 orang, mereka selalu senang melihatnya.  Eyang Putri harus kehilangan sebelah payudara karena kanker, kehilangan ketajaman ingatan, kehilangan satu lagi anak mereka yang mendahului mereka, dan kehilangan mobilitas tinggi yang dulu dimilikinya.  Eyang Kakung dua kali terkena stroke, tapi tidak membuatnya kehilangan daya pikir dan daya ingat tajam yang membuatnya mampu menulis dua belas jilid buku nasehat tulisan sendiri.  Di usia ke 93, barulah Eyang Kakung mengeluh bahwa badannya 'tidak seperti dulu lagi' karena harus memakai tongkat ketika berjalan.  'Maklum sudah manula!' begitu katanya.  Aku tertawa dan mencandainya 'Hahaha, Eyang baru 17 tahun kok!' [caption id="attachment_238514" align="aligncenter" width="300" caption="Buku nasehat untuk anak cucu"]

1366245985835221852
1366245985835221852
[/caption] [caption id="attachment_238515" align="aligncenter" width="300" caption="sepenuhnya hasil tulisan tangan"]
1366246045910959629
1366246045910959629
[/caption] Eyang Kakung memberiku bakat musik.  Beliau setia memainkan biola tua miliknya, sampai pendengarannya tidak mampu lagi membedakan nada.  Lalu beliau memberikan biola itu pada adikku, dan aku mendapatkan sebagian partitur lagu klasik miliknya untuk dimainkan di piano.  Eyang Kakung juga membagi kesenangannya pada sejarah dan politik padaku.  Kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam membahas topik itu berdua.  Salah satu karya besar Eyang, daftar silsilah keluarga yang panjangnya mencapai silsilah raja-raja jawa, adalah salah satu benda favoritku.  Daftar itu mungkin tidak akurat, tapi Eyang membuatnya dengan sepenuh hati.  Dulu beliau bahkan meminjam buku-buku sekolahku untuk melengkapinya.  Sekarang dengan pendengaran yang sangat berkurang, sulit untuk bisa mengobrol dengan Eyang, tapi setiap ada kesempatan aku selalu berusaha berlama-lama bicara dengannya. Eyang Putri sangat pandai memasak.  Kepandaian itu menurun pada Ibuku, tapi tidak padaku.  Cara Eyang Putri memasak sangat rapi dan disiplin.  Mungkin kalau Eyang Putri masih muda saat ini, beliau bisa menang di acara Master Chef.  Ada ukuran tepat untuk segala potongan.  Buncis yang dipotong terlalu panjang akan dijuluki tongkat.  Ayam untuk soto tidak boleh 'disuwir' karena itu 'tusuk gigi, bukan ayam', tapi harus dipotong dadu.  Menata piring di meja harus lengkap, termasuk alas piring.  Di usia 86, Eyang Putri masih bisa makan daging, seafood, telur asin.  Tidak lupa setangkup roti mentega untuk sarapan. Desember 2012 lalu, pernikahan Eyang Kakung dan Eyang Putri melewati usia 70 tahun.  Tujuh puluh tahun bersama menghadapi kehidupan.  Lalu bagaimanakah hubungan mereka berdua saat ini? Ibuku yang sehari-hari merawat mereka berdua bercerita kalau ia mencuri dengar percakapan Eyang Kakung dan Eyang Putri menjelang tidur. 'Apakah mas sayang aku?' tanya Eyang Putri. 'Sangaaaaat sayang.' jawab Eyang Kakung. Semoga keselamatan dan rahmat dilimpahkan pada Eyang berdua, selamanya....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun