Perjuangan Oesman Sapta Oedang, bagaikan kesatria yang berjuang di medan perang politik. Semangat mangantar-kantar bagaikan seorang maharaja atau mahapatih yang memperjuangkan kemenangan politik. Demi kelompok pasukan sanator dengan warna jubah partai politik, OSO, demikian panggilan sang komandan politik memperjuangkan hak politiknya.
Tujuannya bukan kemenangan total. Seandainya OSO melalui medan tempur adu regulasi, di depannya menanti perjuangan taktis politik untuk merebut suara rakyat demi menjaga kehormatan sebagai tokoh nasional yang memimpin pendudukan kursi senator. Luar biasa, ikhtiarnya bagaikan pimpinan yang siap dengan gelar perang politik.
Apakah senator berbaju partai politik membuka babak baru pertarungan politik nasional? Ataukah, senator berjubah parpol siap mengadu dan membenturkan dua mahkamah, yakni Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung?
Membaca ulang perangai senator berjubah parpol, seakan membaca catatan nafsu dan kehendak manusia politik. Mereka yang sangat berkeinginan menduduki kursi jabatan tertentu, juga tidak ingin kehilangan warna parpol. Dari elit politik jenis ini, sungguh tidak ada pembelajaran baik yang bisa kita peroleh.
Pada awalnya, Dewan Perwakilan Daerah adalah pemilik kursi perwakilan daerah. Dengan adanya kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat maka wajarlah kursi DPD diberikan kepada politisi non-parpol dari daerah agar ruang partisipasi politik memberi kesempatan kepada elit parpol dan non-parpol menjaga kestabilan politik, membahas Undang-Undang, dan mengawasi pemerintahan eksekutif.
Entah darimana asal muasal pemilik nafsu politik sehingga membuat para anggota parpol memasuki pertarungan calon senator. Semakin tidak jelaslah ruang politik bagi non-parpol dari perwakilan daerah, bahkan bisa menghilangkan DPD non-parpol akibat penyebarluasan kader parpol ke ranah DPD.
Sekarang, para pemilik baju parpol akan melawan MK, KPU dan Bawaslu dengan dalih putusan MA. Apakah nasib mereka bisa memasuki ruang daftar pencalonan? Sebuah perjuangan yang mungkin tidak logis yuridis. Secara substansi, histori, dan regulasi sulit menerima kehendak elit parpol menduduki kursi DPD.
Namun, di dalam politik, tidak ada yang tidak mungkin. Jika kehendak itu berhasil menggulingkan pendapat umum maka kita akan menerima suatu kondisi yang memprihatinkan. Bila itu terjadi, sungguh wajar bila pemilih yang cerdas memberikan hukuman pada anggota DPD dari unsur parpol, sekaligus menghukum caleg parpol di ruang kecil saat pencoblosan: karena hakim tertinggi pada proses pemilu adalah pemilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H