Perhelatan Pilkada serentak gelombang ketiga membuktikan kelemahan partai politik. Pilkada 2018 menjadi alat ukur bagi kita. Yaitu mengukur kekuasaan politik elit lebih kuat daripada upaya pembinaan kader.
Munculnya kandidat non kader menjadi dilema atas keberadaan partai politik. Meskipun pencalonan kepala daerah merestui kandidasi non kader partai. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 Â Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, bahwa:
(1) Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi:
a. anggota Partai Politik;
b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
c. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan
d. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden.
(1a) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui seleksi kaderisasi secara demokratis sesuai dengan AD dan ART dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus).
(2) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta  peraturan perundang-undangan.
(3) Penetapan atas rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD dan ART.
Pasal pendukung elit partai mengusung bakal calon non kader ini lah yang menghambat penokohan kader partai di daerah.