"Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda akan kuguncangkan dunia" (Soekarno).
Saat membaca buku terbitan Republika ini, saya teringat perkataan presiden Soekarno bagaimana pemuda dapat mengguncang dunia. Bagaimana dan apa hubungannya mengguncang dunia dengan kisah si anak badai? Jawabannya nanti akan ditemukan di akhir kisah.
Di awal cerita, Tere Liye dan Sarippudin sebagai co-author mengenalkan seorang anak bernama Zainal yang dipanggil Za  bertemu dengan bajak laut. Dia menantang dan berdebat dengan bajak laut.  Pertemuan yang cukup seru dan menegangkan di awal kisah, hingga saya kaget ketika membaca halaman tujuh (7) ternyata semua hanya mimpi si Za. Berawal dari mimpi, pembaca dibawa oleh sang penulis Tere Liye kepada kejutan-kejutan kisah hidup sederhana seorang anak bernama Za. Â
Di awal membaca, saya langsung teringat dengan masa kecil saya. Kenapa begitu? Apakah kisah hidup saya sama dengan sang tokoh? Mungkin ada yang berfikir begitu.Â
Jawabannya tidak. Namun, tokoh-tokoh  yang diangkat Tere Liye adalah sosok-sosok manusia biasa, anak-anak biasa seperti anak kebanyakan. Anak-anak yang hidup sederhana, bermain, berdebat dan bersahabat satu dengan yang lain. Tokoh sederhana tentunya lebih mengena di hati kita (pembaca) yang mayoritas adalah orang biasa. Di awal cerita saja, saya terbawa cerita sambil tersenyum mengingat dan membandingkan dengan masa kecil saya.
Menggunakan gaya bahasa sudut pandang orang pertama, dimana Za sebagai tokoh utama bercerita tentang dirinya dan kampungnya yang bernama Muara Manowa. Dimana rumah-rumah bahkan sekolah dan mesjid di kampung tersebut berdiri di atas air. Mereka membangun jembatan sebagai jalan untuk menghubungi satu area dengan area lainnya dan menggunakan perahu sebagai transportasi. Â
Za beserta geng nya Ode, Malim dan Awang melakukan kegiatan khasnya anak-anak muara yaitu menunggu kapal yang lewat dan mencari uang logam yang dilemparkan penumpang. Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini mengunakan cara bertutur/ story telling yang  mendeskripsikan suasana dengan sangat apik. Ketika anak-anak memanggil penumpang dan nyebur mencari uang logam yang dilemparkan membuat saya seolah-olah ikut hadir disitu dan merasakan kegembiraan mereka berebutan koin.
Seperti kisah Tere Liye lainnya, kisah  si anak badai ini tidak kehilangan identitas yang sarat dengan pesan moral dan makna. Keluarga, persahabatan dan keberanian menjadi inti dari kisah si anak badai. Di  kisah serial anak-anak mamak dimana Eli, Pukat, Burlian dan Amelia yang memilki kisah dan perjuangan sendiri dalam keluarga demikian juga dengan Za dalam keluarga.Â
Za memiliki adik bernama Fatah dan Thiyah. Keseharian mereka seperti anak kebanyakan. Ketika membacanya, kita pun merasakan sesuatu yang nyata dan real misalnya suasana mereka berinteraksi dan makan bersama di meja makan, mendapat hukuman dari mamak bahkan ketika mereka protes dengan tempe gosong dan tumis kangkung yang tidak ada rasa.
Seperti serial anak-anak mamak yang menonjolkan peran dan pentingnya keluarga, kisah Za pun begitu. Za dibesarkan dengan kasih sayang mamak dan bapaknya. Kasih sang mamak tampak ketika dia melantunkan pantun untuk anak-anaknya. Karena kesibukannya menjahit baju ibu-ibu rebana sehingga tak sempat memasak makanan untuk anak-anaknya dan mamak merasa bersalah.
Ranum si buah duku
Jatuh hanyut dalam selokan
Sedih rasa hatiku
Melihat buah hati telantarkan
(hal 131)