Kalau mendengar kata 'Nepal', apa yang pertama kali melintas dalam pikiran Anda? Kalau saya, langsung membayangkan negara yang dipenuhi pegunungan salju, lembahnya subur kehijauan. Mungkin semacam pemandangan di film serie jaman dahulu, Little House in the prairie. Dan ketika saya mendapat kesempatan untuk akhirnya sampai kesana, Nepal yang saya dapati sama sekali berbeda dari apa yang saya bayangkan.
Negara yang dapat ditempuh dengan penerbangan komersil dari Chennai, India selama kurang lebih 4 jam ini menyimpan lebih banyak misteri dari sekedar pemandangan indah dan gugusan pegunungan Everest yang megah.
Setelah tiba di Kathmandu agak sore dan kelelahan, saya dan adik saya memilih untuk langsung menuju ke hotel yang sudah kami booked sebelumnya. Sebuah guest house tua yang nyaman, dan bersih. Baru keesokan harinya, sebuah mobil Nissan Sunny tua, yang sepertinya berumur lebih tua dari saya siap mengantarkan kami berkeliling kota Kathmandu.
Dan barulah kami ternganga melihat kota yang kami bayangkan indah, ternyata jauh dari keindahan. Musim kering dan suhu dingin bukanlah paduan yang tepat bagi kami yang terbiasa dimanjakan oleh udara tropis yang lembab. Setiap hirupan napas terasa perih di hidung dan tenggorokan saya. Tanah yang kering membuat debu berterbangan kemana-mana membuat jarak pandang menjadi terbatas. Sekarang mata dan hidung saya menjadi sasaran udara kering dan debu.
Tak cukup hanya itu saja. Kendaraan di kota Kathmandu ternyata hampir sama dengan kendaraan di Jakarta, beremisi tinggi. Belum habis disitu, sanitasi dan pembuangan sampah yang belum rampung membuat rakyat kota harus mengurus sampahnya sendiri. Solusinya adalah membuangnya ke dalam sungai dan membakarnya habis. Sepanjang jalan kami sempat bergeleng menyaksikan sungai kering dengan sampah bertumpuk. Bagai membongkar rahasia manusia-manusia acuh yang menyembunyikan gunungan sampah ke sungai yang tadinya penuh air meluap.
Jadi lengkap sudah, udara kering menusuk, debu dan pasir berterbangan, bau asap kendaraan yang mencekik. ditambah lagi asap pembakaran sampah yang menyakitkan paru-paru. Semua ini kami nikmati dari Nissan Sunny tua yang tidak ber-AC. Yup, kami tetap memilih untuk membuka jendela mobil untuk membiarkan udara sejuk meniup semua udara kotor yang ada.
Ternyata semakin kami mendekati tempat tujuan, bau asap pembakaran semakin kuat terasa. Ketika sampai, saya yang sudah tidak sabaran ingin keluar dari mobil langsung bergegas menuju ke pintu masuk Pasupatinath Temple yang ternyata cukup jauh dari tempat kami parkir. Gegas langkah saya melambat melihat pemandangan yang sama sekali tidak pernah saya lihat sebelumnya.
Kompleks yang sangat luas ini memiliki ratusan pura dan kuil dari berbagai agama, Hindhu, Buddha, dan bahkan beberapa bangunan didirikan untuk menghormati Mother Theresa dan masih didatangi oleh penganut Christian dari berbagai negara. Semua bangunan pura dan kuil nampak berjejalan berdesakan. Dan bangunan kuning ini yang paling menarik perhatian saya.
Bangunan yang nampak seperti stasiun kereta pusat jaman dahulu ini memiliki banyak pelataran di sepanjang pinggir kali yang bersebelahan langsung dengannya. Kobaran api dan kepulan asap nampak di beberapa pelataran berwarna abu-abu yang nampak kotor. Beberapa perempuan tua nampak tengah menyapu sisa-sisa abu dan ampas kayu yang semuanya langsung dibuang ke sungai yang airnya tengah surut. Adik saya bersikeras kalau tempat itu adalah tempat pembakaran sampah kota yang tengah sibuk. Batin saya mengatakan lain.
Dan betul saja. Ternyata yang kami sangka sampah adalah jenazah yang dikremasi. Perut saya terasa mual sambil menutupi hidung dan menepis-nepis abu yang mulai terduduk di bahu saya. Penjelasan tour-guide yang penuh semangat sama sekali tak terdengar oleh saya yang memilih untuk pergi turun dari atas bangunan dan mencari udara segar sendirian.
Seluruh sudut tempat ini bercerita tentang kematian. Tapi tak nampak kesedihan atau tangisan dari keluarga yang ditinggalkan. Hanya keheningan dan ketaatan setiap anggota keluarga mengikuti setiap rangkaian upacara. Pasupatinath berasal dari kata Pasu yang berarti Binatang, Â Pathi yang berarti Tuan, dan Nath yang berarti Tuhan. Dikremasi di pura ini merupakan impian setiap penganut agama Hindu, yang berharap terhapuskan dosanya dan tidak bereinkarnasi kembali ke dunia dalam wujud binatang.
Pasupatinath Temple merupakan tempat yang paling mengesankan untuk saya di Kathmandu. Aristektur bangunan yang mengesankan, kisah para dewa yang tak berhenti membuat kami ternganga. Dan ritual agama lain yang baru kami saksikan seumur hidup kami. Sungguh suatu pengalaman yang tak terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H