Dalam buku Filsafat kontemporer, karya Berthens, ada kritikan seorang filsuf postmodernisme Jean Francois Lyotard kepada Imanuel Kant yang cukup menarik. Siapa yang tidak mengenal Imanuel Kant? Imanuel Kant terkenal karena teorinya mengenai noumena dan fenomena.Â
Menurut Kant, manusia hanya bisa mengetahui fenomena. Pengetahuan manusia terhadap fenomena merupakan hasil modifikasi kategori kategori apriori yang pasti dengan pengalaman empiris manusia terhadap fenomena. Menurut Kant, kategori-kategori apriori seperti hukum kausalitas (sebab akibat) Â bersifat determinis, tapi di sisi lain, Imanuel Kant berpandangan bahwa manusia adalah makhluk bebas.
Pada point inilah Jean Francois Lyotard melihat adanya kesenjangan antara kedua hal tersebut dan menurut Lyotard, Kant belum menyelesaikan kesenjangan ini. Kritikan Lyotard ini sangat masuk akal, jikalau kategori-kategori itu bersifat determinis sedangkan manusia sendiri sebagai makhluk bebas maka pertanyaannya bagaimana manusia menggunakan kebebasannya dalam kaitan dengan kategori-kategori berpikirnya yang determinis itu?Â
Bukankah kehendak merupakan aspek dari pikiran manusia? Jikalau pikiran manusia terdeterminis oleh kategori-kategori berpikir maka berarti kehendaknya juga demikian. Jika kehendak terdeterminis oleh kategori-kategori berpikir maka apakah secara metafisik kehendak manusia masih dikatakan bebas?
Lyotard sejalan dengan Kant bahwa kehendak manusia bebas tapi Lyotard menawarkan solusi untuk mengatasi kesenjangan tersebut. Menurut Lyotard, tak perlu ada kesatuan antara fenomena-fenomena yang berbeda. Masing-masing memiliki aturan sendiri. Termasuk dalam diskursus-diskursus, masing-masing diskursus memiliki aturan dan logikanya sendiri. Lyotard berpendapat bahwa kesenjangan yang tak bisa disatukan tersebut hanya bisa diatasi dengan menerima heteroginitas. Inilah yang kemudian menjadi salah satu ciri postmoderenisme.
Lyotard menganggap telah menyelesaikan kesenjangan Kant, tetapi menurut analisis saya, lyotard menciptakan kesenjangan baru yaitu kesenjangan antar fenomena-fenomena karena fenomena fenomena kemudian tidak menemukan kesatuannya. Â Lyotard menolak kesatuan atau universalitas, sehingga konsekuensinya kebenaran itu relatif. Tak ada kebenaran universal dan mutlak dalam pandangan lyotard. Mungkin relativisme satu satunya kebenaran Universal dalam pandangan Lyotard dan penganut postmoderen lainnya seperti Derida misalnya, walau pun mungkin mereka tidak menerima dikatakan seperti itu.
Lalu bagaimana Alkitab menjawab kesenjangan Kant? Menurut Alkitab, manusia tidak memiliki kebebasan di hadapan Allah. Allah yang berinisiatif memulai semuanya termasuk menciptakan dan merancang manusia. Dalam kaitan dengan manusia kita bisa katakan manusia itu bebas dalam relasi manusia dengan sesama manusia dan benda tetapi manusia tak pernah bebas dalam kaitan dengan Allah. Hanya Allah yang memiliki kebebasan mutlak.
Seorang apologet Kristen, Vinchent cheung menyatakan bahwa, manusia memiliki kebebasan dengan sesama manusia dan benda. Bahkan manusia tidak pernah dipaksa oleh siapa pun termasuk oleh Tuhan untuk melakukan sesuatu karena kehendak manusia untuk melakukan sesuatu yang sesuai keinginannya begitu kuat, tapi walau pun demikian secara metafisik, dalam kaitannya dengan Tuhan, manusia tidak memiliki kehendak bebas baik secara relatif mau pun mutlak.Â
Manusia melakukan segala yang diinginkannya secara rela dan tidak dipaksa oleh siapa pun termasuk Tuhan karena sudah ditetapkan oleh Tuhan. Tuhan menetapkan, mengkondisikan, dan mengontrol manusia secara keseluruhan sehingga apa pun yang manusia kehendaki dikehendaki dengan sukarela sesuai keinginannya tetapi itu semua karena ketetapan Tuhan dan bukan karena manusia bebas terhadap Tuhan.
Manusia tidak memiliki kehendak bebas dalam kaitannya dengan Tuhan. Semua diatur oleh Tuhan baik secara langsung mau pun melalui hukum-hukum dan semua kondisi yang telah dikondisikan dan ditetapkan Tuhan. Maka tak ada kesenjangan antara manusia dan hukum-hukum itu. Semuanya diarahkan dalam kesatuan sesuai rencana Allah. Manusia berpikir mengenai 1 buah +1 buah=2 buah bukan karena kehendak manusia yang memilih 1 buah +1 buah=2 buah tapi secara hukum 1 buah +1 buah=2 buah.Â
Manusia memilih nasi sebagai makanan daripada kotoran sapi karena manusia tunduk pada hukum logika. Pemahaman manusia bahwa kotoran sapi adalah kotoran sapi dan nasi adalah nasi merupakan implikasi dari hukum logika. Manusia bisa saja menolak logika dan mengatakan bahwa kotoran sapi adalah kotoran sapi dan bukan kotoran sapi dalam waktu dan pengertian yang sama, tapi untuk menolak Logika (hukum-hukum berpikir), manusia harus tunduk pada hukum-hukum logika agar pernyataannya bisa bermakna.Â