Penulis: Andri O. Pellondou
Kita baru saja dikejutkan dengan sebuah berita viral mengenai seorang wanita yang dibakar hidup-hidup oleh beberapa anggota masyarakat di Sorong, Papua Barat karena wanita tersebut dicurigai sebagai penculik anak. Â
Kepolisian menyatakan bahwa tidak ada bukti bahwa wanita tersebut terlibat dalam penculikan anak, tetapi beberapa anggota masyarakat yang tersulut emosi karena kecurigaan tersebut menganiaya dan mengarak arakan wanita tersebut hingga akhirnya wanita tersebut dibakar hidup hidup hingga akhirnya tewas.Â
Dalam tulisan ini, saya ingin kita merenungkan sebuah pertanyaan mendasar mengenai manusia. Siapakah manusia itu? Jikalau kita memandang alam semesta ini beserta segala isinya kita akan terkagum kagum akan keindahannya tapi ketika kita melihat pada manusia yang tak lain adalah diri kita sendiri, apakah kita menyadari bahwa kita sangat berbeda dengan alam semesta ini?Bukankah kita bisa menilai, mempertanyakan, mencari jawaban atas segala hal dan mengaggumi segala sesuatu?Bukankah kita semua menyadari diri dan sekitar?Bukankah itu buah dari akal budi?
Aristoteles mendefinisikan manusia sebagai mahkluk yang berakal budi. Hanya manusia yang dikatakan berbudaya karena hanya dengan akal budi manusia bisa menghasilkan banyak hal serta mengelola dan menata dunia ini. Dengan akal Budi juga manusia bisa berelasi dengan sesama manusia secara berharkat dan bermartabat.
Tapi bagaimana jikalau manusia teralienasi dari sifat-sifatnya yang mulia tersebut?Bagaimana jikalau manusia tidak lagi menggunakan akal sehat ketika memutuskan untuk melakukan sesuatu? Apakah saat itu manusia sudah berhenti menjadi manusia?Tunggu dulu. Bukankah kebencian, prasangka, dan segala sifat jahat juga merupakan produk atau buah dari pikiran manusia?
Mungkin pernyataan Thomas Hobbes lebih tepat untuk situasi ini. Thomas Hobbes mengatakan, Homo Homini Lupus, yaitu manusia menjadi serigala bagi yang lain. Artinya manusia yang tak berperikemanusiaan sedang dalam proses menjadi serigala. Secara mutlak mereka belum berhenti menjadi manusia karena sifat sifat manusia masih ada pada mereka. Mereka baru akan menjadi seperti binatang ketika mereka mematikan akal sehat dan lebih mengikuti naluri seperti binatang liar.
Orang-orang yang membakar seorang wanita di Sorong hanya karena kecurigaan tetapi bukan karena adanya bukti merupakan contoh dari orang-orang yang tidak menggunakan akal sehat tetapi lebih mengikuti naluri. Mereka seperti serigala yang siap menerkam jikalau ada gerakan gerakan yang mencurigakan sekali pun tak ada bukti, karena seekor serigala bukan bertahan hidup berdasarkan bukti tetapi berdasarkan naluri.
Manusia juga adalah mahkluk bermoral. Maka setiap keputusan dan tindakan harus dipertimbangkan secara moral. Seandainya pun wanita tersebut benar seorang penculik, apakah secara moral dibenarkan untuk membakar seseorang hidup-hidup di depan masyarakat umum sehingga ditonton oleh anak-anak sampai orang dewasa? Lalu apakah secara budaya, perbuatan tersebut beradab ataukah biadab?Â
Jangan mengaku beragama kalau perilakunya tidak menunjukan kasih kepada Tuhan dan sesama. Jangan mengaku beradab kalau perilakunya biadab. Jangan mengaku manusia kalau tindakan hanya tunduk pada naluri dan bukan akal sehat.
Marilah kita semua, baik pemerintah, pendidik, tokoh tokoh agama, tokoh tokoh adat, dan tokoh tokoh masyarakat bercermin dari kasus ini. Mari kita didik generasi kita agar tidak menjadi masyarakat barbar yang menjadi serigala bagi sesamanya.Â