Jokowi kelihatannya harus membuat prinsip; warga Jakarta tidak perlu mobil murah. Karena sebagaimana disampaikan Menteri Perindustrian, program ini konon skalanya nasional yang orientasinya masyarakat menengah ke bawah. Sehingga kemudian atas dasar prinsip ini Jokowi harus menyusun regulasi yang mendorong masyarakat Jakarta tidak punya manfaat apa-apa dengan mobil murah ini. Ini satu prinsip yang harus dipegang oleh Jokowi agar tidak terimbas dengan dampak program nasional soal mobil murah.
Aplikasi prinsip ini juga bisa dengan tidak memberi izin penjualan kepada setiap distributor kendaraan ini. Atau bisa saja pengeluaran nomor kendaraan buat mobil murah ini memiliki biaya tinggi dan terbatas. Peraturan tegasnya begitu. Atau bila ingin lebih longgar adalah dengan pengalihan data nomor mobil untuk tahun keluaran tertentu, seperti yang terjadi pada regulasi penggantian angkot. Misalnya untuk membeli mobil murah di Jakarta, harus menutup data mobil tahun 2012 ke bawah. Sehingga lambat laun mobil tahun keluaran lama menghilang dari Jakarta.
Apapun idenya, yang pasti ini menunjukkan warga Jakarta atau pemprov Jakarta tidak perlu ikut program mobil murah. Kecuali bila mobil murah ini menukar mobil-mobil tertentu yang kerap menjadi beban Jakarta. Jadi Jokowi harus mengesankan, bahwa berkendaraan di Jakarta itu memang mahal banget. Sekali lagi, ini akan selalu nampak kontradiktif dengan prinsip pengadaan mobil murah. Dari sisi apapun.
Terkecuali ada kebijakan yang benar-benar cerdas sampai seorang yang biasa memakai mobil diatas 200 juta mau membeli dan memakai mobil murah ini di jalanan Jakarta. Dan mereka menggunakan mobil murah ini dengan biaya yang teramat tinggi. Otomatis pengguna mobil murah ini, sekali lagi; bukan orang sembarangan lagi. Dengan demikian mobil-mobil yang diatas 200 juta harus hilang dan berganti mobil-mobil murah.
Sekali lagi saya ingin menggaris bawahi, bahwa secara prinsip kaidah mobil murah dan penanggulangan kemacetan itu memang tidak akan pernah sinkron, dengan utak-atik seperti apapun. Karena yang satu harus membuat fakta bermobil itu mahal yang satu malah membuat bermobil itu murah. Mana bisa disatukan. Hanya orang yang plintat-plintut yang menyebutkan kedua hal itu sinkron.
Saya pikir, warga Jakarta harus sadar juga akan itu. Kalau warga Jakarta yang cerdas ini merasa sayang kepada Jokowi sebagai pemimpin inspirasi bangsa ini, seharusnya dengan sadar mengurungkan niat berburu mobil murah ini. Kalau masih ingin sekedar memiliki mobil ini, persiapkan saja untuk digunakan di kota lain di negeri ini. Sesuai dengan kebijakan turunan dari program mobil murah seperti yang disampaikan pemerintah. Jangan untuk menambah beban Jakarta.
Buat Jakarta sebenarnya harus dibuatkan program yang jitu dan menarik, bahwa dengan mobil murah ini membuat posisi Jokowi menjadi punya alasan kuat untuk mengurangi dengan signifikan jumlah kendaraan yang ada. Misalnya semua mobil dinas pemerintah, mobil operasional perusahaan, mobil layanan hotel dan semua mobil layanan di Jakarta hanya boleh pakai mobil murah yang termasuk dalam program pemerintah ini. Itupun tetap dengan biaya tinggi dalam pemakaiannya di jalanan Jakarta.
Hmmm...
Memang sulit kalau kebijakan dasarnya soal menambah dan mengurangi pemakaian kendaraan tidak bisa sinkron antar lapisan pemerintah. Tinggal bagaimana peran serta masyarakat untuk keberhasilan sang Jokowi ini. Sekali lagi, Anda yang merasa warga Jakarta; benar-benar fahami kondisi dilematis Jokowi untuk permasalahan mobil murah dan kemacetan ini. Saatnya menunjukkan kebesaran dan kebersamaan warga dan pemimpinnya dalam memecahkan masalah.
Ini tentu akan juga mengganggu kebijakan dasar di beberapa daerah yang mencoba memakai prinsip penurunan penggunaan transportasi individu yang menyedot BBM ini. Seperti program One Day No Car yang dijalankan oleh pemerintah Depok. Termasuk untuk mengurai secara budaya, bahwa berkendaraan pribadi itu harus ditinggalkan. Gunakanlah transportasi umum.
Juga bertolak belakang dengan semangat seorang Ridwan Kamil yang sejak pelantikannya menjadi Walikota Bandung langsung menggunakan sepeda untuk pergi ke kantor walikota dan menjalankan tugasnya. Padahal beliau sudah mengajak masyarakat dengan membentuk komunitas bersepeda sejak lama di Bandung. Sampai di kota Bandung ini sudah tersedia beberapa shelter sewaan sepeda yang dibuat dari pengumpulan dana masyarakat.