"Indonesia Negara Agraris" kata tersebut mungkin sudah sering kita dengar dan pelajari sewaktu duduk dibangku sekolah. Saat itu mungkin hanya mempelajari tanpa memaknainya. Mendengar kata "agraris" satu hal yang terbesit dibenak, apalagi kalau bukan pertanian. Pertanian, terlihat menyenangkan melihat para petani bercocok tanam di sawah atau lahan, lantas apakah kita sebagai generasi muda mempunyai mimpi yang sama untuk menjadi seorang petani? nyatanya sebagaian dari kita mungkin menganggapnya sebagai bualan semata.Â
(Poin 1) Cerita Sarjana Pertanian
Di sebuah kampus pertanian ternama, terdapat sekumpulan mahasiswa yang menghabiskan empat tahun mereka mempelajari segala hal tentang dunia pertanian. Mereka belajar tentang teknik irigasi, budidaya tanaman, pengelolaan sumber daya alam, serta segala aspek yang berhubungan dengan pertanian. Namun, setelah mereka lulus, sebagian besar dari mereka justru tidak ingin terjun ke dunia pertanian seperti yang diharapkan oleh banyak orang.
Dina, seorang lulusan sarjana pertanian, sejak awal sudah memiliki cita-cita menjadi seorang pengusaha sukses. Meskipun orangtuanya mengharapkan dirinya untuk kembali ke desa dan mengelola lahan pertanian warisan keluarga, Dina merasa dunia pertanian bukanlah jalannya. Dia memiliki ide untuk membuka sebuah perusahaan teknologi pertanian, yang akan membantu petani mengoptimalkan hasil panen melalui penggunaan aplikasi dan perangkat digital. Bagi Dina, teknologi adalah jalan untuk membawa perubahan besar bagi sektor pertanian, tanpa harus turun langsung ke sawah.
Di sisi lain, ada Arman yang lebih memilih untuk bekerja di sektor keuangan. Meskipun di kampus ia dikenal sebagai mahasiswa yang aktif di organisasi pertanian, Arman tidak merasa terikat untuk menjadi seorang petani. Baginya, dunia perbankan dan investasi memberikan peluang yang lebih luas dan menjanjikan. Dia tertarik untuk bekerja di perusahaan investasi yang fokus pada pengembangan sektor agribisnis, namun bukan dengan cara menjadi petani langsung. Arman percaya bahwa melalui investasi, dia bisa berkontribusi pada pertanian tanpa harus terlibat langsung di lapangan.
Maya, teman dekat Dina dan Arman, juga merasa hal yang sama. Meskipun dia lahir dan besar di sebuah desa yang sebagian besar penduduknya adalah petani, Maya merasa bahwa dunia pertanian tidak lagi menawarkan tantangan yang ia cari. Maya justru merasa tertantang dengan dunia riset dan pengembangan. Dia ingin berkarier di lembaga riset yang mengembangkan varietas tanaman unggul atau menciptakan inovasi baru dalam bidang pertanian. Bagi Maya, berkontribusi pada dunia pertanian melalui pengetahuan dan riset adalah cara yang lebih sesuai dengan minatnya.
Meskipun ketiganya memiliki pandangan yang berbeda, satu hal yang sama adalah kenyataan bahwa mereka semua tidak ingin menjadi petani. Mereka menyadari bahwa meskipun mereka memiliki latar belakang pendidikan di bidang pertanian, dunia ini jauh lebih luas daripada hanya bekerja di lahan pertanian. Mereka ingin berkontribusi dengan cara mereka sendiri, dan mereka yakin ada banyak jalan untuk meningkatkan sektor pertanian tanpa harus kembali ke desa dan bekerja dengan tanah.
Di luar sana, di desa-desa yang penuh dengan ladang dan sawah, orang-orang menganggap bahwa lulusan sarjana pertanian pasti akan kembali untuk menjadi petani. Namun, bagi Dina, Arman, dan Maya, kehidupan mereka bukanlah tentang menuruti ekspektasi orang lain. Mereka ingin menciptakan jalan baru, memanfaatkan ilmu yang mereka pelajari untuk memberi dampak lebih besar bagi pertanian dan masyarakat, tanpa harus terikat pada definisi tradisional tentang apa itu menjadi petani. Mereka yakin bahwa dunia pertanian dapat maju pesat jika orang-orang yang terlibat di dalamnya berpikir lebih luas, tidak terbatas pada cara-cara lama yang biasa dilakukan.
(Poin 2) Alasan DibaliknyaÂ