Di sudut kota yang selalu sibuk, hiduplah seorang pria bernama Bagus. Hidupnya penuh dengan kenangan pahit dan kebiasaan buruk yang menghantui setiap langkahnya.Â
Sejak remaja, Bagus akrab dengan minuman keras. Awalnya hanya untuk bersenang-senang, tetapi lama-kelamaan menjadi pelarian dari kenyataan hidup yang tidak ia sukai.
Setiap hari Bagus bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik kecil. Pekerjaan itu monoton, penuh tekanan, dan bayaran yang diterimanya tidak seberapa. Bagus merasa terjebak dalam rutinitas yang tak berujung.Â
Ketika malam tiba, ia melarikan diri ke bar langganannya, tempat di mana ia menghabiskan sebagian besar hidupnya. Di sana, ia berteman dengan botol demi botol minuman keras yang selalu menemaninya hingga dini hari.
Di bar tersebut, Bagus sering duduk sendirian di pojok ruangan, menatap kosong ke arah dinding yang dipenuhi poster-poster lusuh. Bagus adalah pemabuk ulung.
Setiap tegukan minuman membawanya menjauh dari kenyataan, memberinya sedikit kedamaian di tengah kegalauan yang ia rasakan. Ketika efek minuman mulai hilang, kesepian dan rasa putus asa kembali menghantamnya dengan keras.
Pada suatu sore yang kelabu, Bagus pulang dengan langkah gontai setelah menghabiskan waktu seharian di pabrik.Â
Langit mendung menambah berat beban di pundaknya. Di perjalanan pulang, ia melewati sebuah taman kecil. Di tengah taman tersebut, ada sebuah bangku tua yang tampak sepi. Bagus merasa lelah dan memutuskan untuk duduk sejenak di bangku itu.
Saat duduk di sana, ingatannya melayang pada masa kecilnya. Bagus teringat akan keluarganya, terutama ibunya yang selalu menyayanginya tanpa syarat. Ia teringat bagaimana ibunya selalu mendoakannya setiap malam, berharap anaknya bisa tumbuh menjadi pria yang baik dan berguna. Harapan itu tampaknya telah pupus sejak lama. Bagus merasa ia telah mengecewakan semua orang yang mencintainya.
Sore itu, ketika matahari mulai tenggelam, Bagus kembali tersadar dari lamunannya. Ia melanjutkan perjalanan pulang dengan perasaan yang semakin berat.Â
Sesampainya di rumah, ia menemukan rumah itu kosong dan sepi. Istrinya telah pergi meninggalkannya beberapa bulan yang lalu, tak sanggup lagi menghadapi kebiasaan buruk suaminya. Anak-anaknya pun ikut dibawa pergi, meninggalkan Bagus sendirian dalam kesedihan yang mendalam.