ayah yang dulu perkasa,
Kini langkahnya perlahan, penuh wibawa.
Waktu mencuri kekuatan di punggungnya,
Namun kasih tak luntur, cinta tak tergerus masa.
Tangan yang pernah mengangkat beban dunia,
Kini gemetar memegang cangkir teh sederhana.
Namun, dalam tatap matanya, ada lautan cerita,
Tentang perjuangan, harapan, dan segala cita-cita.
Rambut yang memutih, saksi bisu perjalanan,
Keriput di wajah, peta kasih dan pengorbanan.
Di setiap kerutnya, terukir doa dan asa,
Untuk anak-anak yang kini tumbuh dewasa.
Ayah, pahlawan dalam sunyi, tanpa selempang tanda jasa,
Menghadapi badai kehidupan, dengan senyum tak terkira.
Meski tubuh mulai lemah, semangatnya tetap menyala,
Dalam hati anak-anaknya, namanya abadi takkan pudar.
Dengan segala keterbatasan, ia tetap berdiri,
Mengajarkan arti tegar, tanpa pernah menyakiti.
Ayah, engkau pelita di tengah gelap malam,
Pengingat bahwa cinta sejati, tak lekang oleh zaman.
Biarlah waktu terus berlalu, membawa kisahmu,
Dalam ingatan kami, kau tetap yang dulu.
Seorang ayah yang gagah, kini penuh wibawa,
Tetap kami cintai, hingga akhir cerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H