Ketika ditanya tentang sebuah kemacetan, apa yang ada di dalam benak kita? menyusahkan? melelahkan? menjengkelkan? Kita ambil saja contoh kemacetan di Jakarta, menurut data traffic tomtom, Jakarta berada di posisi ke 46 dari 404 kota dan 56 negara dalam indeks kemacetan, meskipun ada penurunan angka, namun kemacetan tak bisa diselesaikan begitu saja.Â
Pemerintah bukanlah hanya diam dalam menyelesaikan ini, dimulai dari mendorong transportasi massal, membangun infrastruktur, bahkan rencana perpindahan ibukota juga salah satunya untuk mengurangi kemacetan. Lantas apakah berkurang?
Kemacetan tidak berkurang ketika kesadaran seseorang itu sendiri  dan masih tersedianya fasilitas seperti kredit kendaraan, dll. Tentunya ini adalah sebuah involusi kebijakan, Yaps, dalam dunia kebijakan, terkenal istilah yang disebut involusi kebijakan yang merupakan konsep mengubah kebijakan tetapi sebenarnya subtansinya sama.Â
Bak jagung rebus dan jagung bakar, yang isinya sama saja namun terlihat berbeda. Memang tidak mudah dalam hal ini ketika kredit kendaraan ditiadakan yang akhirnya akan mengurangi pendapatan negara dari sektor penjualan karena investor akan kabur, belum lagi meninggalkan sebuah pengangguran karena akan banyak pegawai yang PHK.
Nah, persoalan rokok tak ayal seperti sebuah menyelesaikan kemacetan. Bak kata "sabar, ikhlas, atau koordinasi" yang mudah diucapkan tetapi sulit dilakukan. Sudah ada beberapa kebijakan mengurangi perokok, dimulai dari label peringatan seperti
"Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi. Gangguan kehamilan dan janin"
Belum lagi ada iklan yang menggambarkan ajal kian dekat denga perokok, dan lain-lain. Selain itu, terdapat rokok elektrik yang konon katanya tidak ada zat nikotin tetapi tetap saja merusak tubuh, dan akhir-akhir ini kebijakan menaikkan harga Cukai Rokok. Pertanyaan selanjutnya apakah ini akan efektif?
Bak masalah kemacetan, perokok takkan ada habisnya bahkan selalu akan meningkat dan lebih parahnya usia perokok semakin lama semakin muda bahkan hingga tingkat sekolah dasar. Siapa yang salah? Tak ada yang disalahkan kecuali kesadaran diri sendiri dan kebijakan yang "frontal". Kebijakan frontal takkan mudah dilakukan mengingat masyarakat ada yang berprofesi sebagai petani nikotin, yang bekerja di bidang rokok, belum lagi angka pendapatan negara yang akan turun. Memang permasalahan ini akan menjadi simalakama dan kebijakan apapun terhadap persoalan ini akan menjadi sebuah involusi tanpa dibarengi kesadaran.
Saya ingat ayah teman saya yang dipasang ring jantung karena permasalahan rokok, teman saya berkata "jika telat sedikit, maka akan lewat" artinya ayah teman saya masih beruntung karena seperti diberikan nyawa kedua dan akhirnya hingga sekarang ia berhenti total untuk merokok.Â
Apa kejadian ini harus menimpa perokok dulu baru akan sadar? Tentunya jangan sampai. Ingat rokok seperti narkoba yang bersifat nagih dan bisa menjadi silent killer suatu saat. Tentunya dari awal kita harus memberikan kesadaran masing-masing tentang bahaya merokok jangan hanya antipasti terutama kepada keluarga terdekat kita karena belum tentu suatu saat akan ada nyama kedua seperti ayah teman saya.