Disadari atau tidak, perlahan tapi pasti Indonesia akan mengalami krisis energi. Ketergantungan terhadap energi fosil menjadi bom waktu yang dapat meledak seketika. Energi fosil, seperti yang sudah kita ketahui sejak duduk di bangku sekolah dasar, adalah energi yang tidak dapat diperbarui. Artinya suatu saat ia akan habis sehingga diperlukan upaya pencarian energi-energi alternatif untuk masa depan. Berdasarkan statistical world review yang dirilis oleh British Petroleum pada bulan Juni 2012, cadangan terbukti minyak di dalam perut bumi Indonesia hanya tersisa sekitar 4 miliar barel per akhir tahun 2011. Dengan asumsi produksi minyak mentah dalam negeri adalah 942 ribu barel per hari maka secara matematis minyak-minyak tersebut akan habis dalam waktu tidak lebih dari 12 tahun. Masih dari data yang sama, Indonesia juga mengalami defisit minyak mentah sebanyak 488 ribu barel karena kebutuhan yang mencapai 1,43 juta barel per harinya. Kondisi sumur produksi minyak di Indonesia tergolong sumur tua sehingga produksi yang dihasilkan tidak lagi optimal. Cadangan minyak tersebut akan habis jika upaya eksplorasi sumur minyak yang baru tidak menunjukkan hasil yang positif. Data menunjukkan bahwa memang potensi cadangan minyak masih tersisa sebanyak 50 miliar barel di sepanjang laut Indonesia. Akan tetapi, data tersebut belum dapat dibuktikan kebenarannya. Solusi terbaik adalah dengan mulai melakukan diversifikasi energi dan pencarian sumber energi baru untuk masa depan. Berdasarkan blue print pengelolaan energi nasional tahun 2006-2005 sesuai dengan Peraturan Presiden no 5 tahun 2006, pada tahun 2025 ketergantungan energi pada minyak bumi akan dialihkan pada sumber energi lain seperti gas, Energi Baru Terbarukan (EBT), dan batu bara. Terlihat pada grafik di atas bahwa pada tahun 2025, ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar minyak secara perlahan akan dikurangi. Pemanfaatan sumber energi lain seperti gas dan batubara masih secara dominan menjadi pilihan pemerintah sedangkan 17% di antaranya adalah pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang kemudian difragmentasi lagi menjadi beberapa sumber energi seperti panas bumi, bahan bakar nabati, biomassa dan lainnya. Gas dan batubara, sama halnya dengan minyak bumi, adalah sumber energi yang tidak terbarukan. Bergantung secara mutlak kepada kedua jenis sumber energi tersebut sebagai alternatif bukanlah pilihan yang bijak mengingat mereka juga sewaktu-waktu dapat habis serta penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan. Oleh sebab itu, porsi pemanfaatan energi baru terbarukan harus mulai ditingkatkan. Pemerintah mulai melakukan langkah-langkah pemanfaatan EBT secara optimal dengan menambah kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Mikro Hidro menjadi 2,846 MW pada tahun 2025, kapasitas terpasang Biomasa 180 MW pada tahun 2020, kapasitas terpasang angin (PLT Bayu) sebesar 0,97 GW pada tahun 2025, surya 0,87 GW pada tahun 2024, dan nuklir 4,2 GW pada tahun 2024. Total investasi yang diserap pengembangan EBT sampai tahun 2025 diproyeksikan sebesar 13,197 juta USD.
Seperti apa peran Sumber Energi lainnya?
Setidaknya ada beberapa syarat suatu sumber energi dapat dijadikan sebagai energi masa depan
- Mudah diperoleh
- Efisiensi energi yang tinggi
- Ongkos produksi yang murah
- Ramah lingkungan
Ada banyak sumber energi di Indonesia yang dapat dijadikan alternatif energi fosil. Selama ini nuklir menjadi salah satu primadona bagi negara-negara maju. Namun pemanfaatan nuklir sebagai sumber energi selalu mengundang kontroversi dan tidak jarang beririsan dengan agenda politik. Stigma nuklir yang mudah meledak dan menghancurkan seisi kota seperti bom nuklir di kota Hiroshima dan Nagasaki masih membayangi rakyat Indonesia sehingga LSM berbondong-bondong menyerukan pemboikotan nuklir. Belum lagi kejadian gempa di Jepang yang mengakibatkan bocornya PLTN Fukushima Daichi memberikan fobia yang semakin memperburuk stigma tersebut. Mikrohidro, angin, dan sel surya adalah contoh-contoh energi baru terbarukan yang dapat digunakan untuk menggantikan posisi minyak bumi dan gas. Masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri. Rerata kesulitan adalah pada pembangunan infrastruktur. Menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kardaya Warnika, tidak adanya keberpihakan membuat target untuk pengembangan energi baru terbarukan sulit dicapai. Menurut beliau, keberpihakan mengandung arti semua energi baru dan terbarukan harus serentak didorong untuk menggantikan energi fosil. Namun, saat ini justru energi fosil yang memperoleh subsidi. Salah satu sumber energi terbarukan yang tidak kalah baik dan penting adalah energi panas bumi. Ia sudah semakin dikembangkan oleh pemerintah dan diproyeksikan dapat berperan aktif untuk mengganti peran energi fosil.
Mengapa Panas Bumi?
Energi panas bumi atau energi geothermal adalah energi yang dihasilkan oleh fluida, gas dan batuan yang terkandung di dalam perut bumi sehingga memerlukan proses pertambangan untuk memperolehnya. Geotermal termasuk energi terbarukan karena siklus produksinya memanfaatkan fluida untuk mengambil panas dari dalam bumi ke permukaan dan fluida tersebut akan diinjeksikan kembali ke dalam tanah untuk proses produksi berkelanjutan.
Kendala dan Solusi untuk Energi Panas bumi
Pemanfaatan geothermal sebagai sumber energi juga tidak terlepas dari ragam permasalahan. Menurut mantan Dirut PT Pertamina Geotermal Energi, Abadi Poernomo, pengembangan energi panas bumi cukup rumit. Hal ini disebabkan oleh investasi yang tidak sedikit untuk proses produksi dan juga beresiko tinggi. Resiko yang mungkin timbul berkaitan dengan sumber daya seperti tidak ditemukannya energi panas bumi di daerah yang sedang dieksplorasi, cadangan atau energi listrik yang kurang komersial. Resiko lainnya adalah kemungkinan penurunan laju produksi atau penurunan temperature lebih cepat dari estimasi semula (Sanyal&Koenig, 1995). Selain itu konversi energi panas bumi menjadi energi listrik dianggap kurang menguntungkan karena harga jual per KWH yang ditetapkan PLN terlalu murah dan tidak sebanding dengan ongkos produksi. Harga jual yang rendah juga beririsan dengan daya tarik investasi oleh para investor. Para investor juga kurang tertarik untuk berinvestasi pada eksplorasi panas bumi di Indoneseia. Hal ini disebabkan oleh belum adanya kepastian hukum atau masih adanya tarik ulur kebijakan di kementrian terkait. Peraturan perundangan yang dibuat oleh kementrian ESDM belum tentu sejalan dengan peraturan di kementrian lain. Selain itu, lokasi sumur geothermal yang sebagian berada di kawasan konservasi juga menjadi salah satu hambatan dalam proses produksi. Selain akan berhadapan dengan LSM yang concern terhadap isu konservasi, pembebasan lahan pun dinilai cukup mahal. Kendala ini diperparah dengan perizinan yang sulit didapat. Hal ini seolah menjadi gambaran bahwa seolah tidak adanya koordinasi di pihak pemerintah dalam menopang pembangunan dan pengembangan teknologi panas bumi. Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka diperlukan komunikasi intensif pemerintah yang terwakili oleh Kementrian ESDM dengan pihak-pihak terkait. Rumuskan bersama peraturan perundangan yang memberikan kemudahan dan akses agar para investor berminat untuk menanamkan investasinya pada energi panas bumi di Indonesia. Lakukan kajian intensif terhadap perubahan pasar makro yang mungkin berpengaruh pada harga jual. Energi panas bumi tidak bisa dijadikan satu-satunya sumber energi. Pemerintah tetap harus fokus pada upaya diversifikasi energi lainnya. Jika kita mampu memanfaatkan setiap potensi sumber energi yang ada maka Indonesia bisa mandiri secara energi dan tidak lagi bergantung pada negara lain. Memang dibutuhkan waktu yang lama, energi yang ekstra, dan keuangan yang besar namun demi energi masa depan yang lebih baik, maka harus direncanakan dari saat ini. Karena apa yang kita investasikan sekarang akan bermanfaat di masa depan. Sumber : 1, 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H