Oleh : Murhima A. Kau, Agilyanti S.Mateka, Natasya Abada, Niken Dangkua, Puput Puspita Usman
Pernikahan merupakan hasrat naluri yang ada pada setiap insan, namun jika pernikahan tidak dilakukan sewajarnya maka akan menjadi problem baik bagi pribadi maupun keluarga. Seperti halnya pernikahan muda, jika seseorang menikah belum cukup umur artinya belum matang secara fisik dan psikologis maka akan selalu muncul permasalahan. Sayangnya masyarakat kita yang majmuk sudah terbiasa dengan praktek pernikahan muda seperti ini, mereka berdalih mengikuti sunnah Nabi. Kaitannya dengan Sunnah nabi, terdapat hadis tentang usia menikah ‘Asiyah ra saat dia masih belia. Para ulama’berbeda sikap dalam memahami hadis tersebut, ada yang menerima riwayat ini ada juga yang menolak, yang menerima seperti Aisyah bint Syathi yang menolak seperti Khandhalvi seorang tokoh hadis dari India, dia meragukan keabsahan hadis tersebut dengan memaparkan sederet argument dan mengatakan bahwa ‘Asiyah ra menikah pada usianya yang sudah dewasa.
Oleh karena begitu pentingnya hadis tersebut sebagai sumber rujukan maka penulis akan mengkaji masalah ini dengan beberapa rumusan masalah (1). Pada usia berapakah ‘Aisyah ra menikah dengan Nabi Muhammad Saw?(2). Bagaimanakah status hadis usia ‘Aisyah ra menikah dengan Nabi Muhammad Saw?(3). Bagaimanakah setting sosial budaya Arab saat munculnya hadis tersebut dan bagaimana relevansinya pada zaman sekarang?. Dalam kajian ini penulis menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan sejarah sosial, adapun kaitannya dengan penelitian hadis penulis melakukan studi kritik hadis.
Secara umum Al-Qur’an hanya menggunakan kata nikah dan zawaj untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah. Ada juga kata wahabat yang berarti "memberi", akan tetapi kata ini hanya digunakan oleh Al-Quran untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi Muhammad Saw dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri.
Perkawinan adalah sesuatu yang sakral. Ketentuan Allah menyangkut hal ini bukan saja tercermin pada ketetapan-Nya tentang siapa yang boleh dan tidak boleh dinikahi, atau rukun dan syarat-syarat yang ditetapkan-Nya tetapi bahkan dalam redaksi yang digunakan dalam akad. Nabi saw bersabda sebagai pesan kepada calon suami, “Saling wasiatmewasiatilah menyangkut perempuan (istri) karena kalian menerimanya dengan amanat dari Allah dan menjadi halal hubungan kalian dengan kalimat Allah.” Untuk menjadikan pernikahan menjadi sah maka diperlukan seperangkat rukun dan syarat. Oleh karena itu bagi pasangan yang hendak menikah harus memperhatikan dengan cermat apa yang menjadi komponen pelaksanaan sebuah akad nikah. Rukun adalah sesuatu yang mesti ada dan menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan, dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Sedangkan yang dimaksud syarat adalah sesuatu yang ada dalam perkawinan dan tidak menjadi bagian dari hakikat pernikahan.
Pernikahan merupakan salah satu komitmen paling signifikan dalam kehidupan seseorang. Namun, tidak jarang pasangan suami istri menghadapi berbagai tantangan yang dapat menimbulkan stres. Mengatasi stres dalam pernikahan sangat penting untuk menjaga keharmonisan hubungan. Salah satu pendekatan efektif untuk mengatasi stres ini adalah dengan menggunakan Terapi Kognitif Perilaku (CBT).
Terapi Kognitif Perilaku (CBT) adalah bentuk psikoterapi yang berfokus pada perubahan pola pikir dan perilaku yang tidak sehat atau tidak produktif. CBT bertujuan membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pikiran negatif atau tidak realistis yang dapat menyebabkan stres dan masalah emosional lainnya. Pendekatan ini telah terbukti efektif dalam mengatasi berbagai masalah, termasuk stres dalam pernikahan.
Stres dalam pernikahan bisa disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: 1.Komunikasi yang Buruk: Kurangnya komunikasi yang efektif sering kali menjadi sumber konflik. 2.Perbedaan Nilai dan Tujuan: Ketidaksesuaian nilai atau tujuan hidup antara pasangan. 3.Masalah Keuangan : Kesulitan ekonomi sering kali menimbulkan tekanan besar. 4.Kurangnya Waktu Bersama: Kesibukan yang menghalangi pasangan untuk menghabiskan waktu berkualitas bersama. 5.Masalah Intimasi : Masalah dalam hubungan intim yang tidak diatasi dengan baik.
CBT membantu pasangan dalam beberapa cara berikut: 1.Mengidentifikasi Pikiran Negatif: CBT membantu pasangan mengenali pikiran negatif yang dapat merusak hubungan. Misalnya, pikiran seperti "pasangan saya tidak peduli" atau "pernikahan ini tidak akan berhasil" dapat diidentifikasi dan diuji kebenarannya. 2.Mengubah Pola Pikir : Setelah pikiran negatif diidentifikasi, terapis akan bekerja dengan pasangan untuk mengubah pola pikir tersebut menjadi lebih positif dan realistis. Misalnya, mengganti pikiran "pasangan saya tidak pernah mendengarkan" dengan "pasangan saya mungkin sedang sibuk, saya perlu memilih waktu yang tepat untuk berbicara." 3.Mengembangkan Keterampilan Komunikasi : CBT juga berfokus pada peningkatan keterampilan komunikasi. Pasangan diajarkan cara berkomunikasi dengan lebih efektif, mendengarkan dengan empati, dan mengekspresikan perasaan tanpa menyalahkan. 4.Mengatasi Masalah Secara Konstruktif : CBT mengajarkan pasangan untuk mengatasi masalah dengan cara yang konstruktif. Ini termasuk teknik pemecahan masalah, negosiasi, dan kompromi. 5.Manajemen Stres : Teknik relaksasi dan manajemen stres juga menjadi bagian dari CBT. Pasangan diajarkan cara-cara untuk mengurangi stres melalui latihan pernapasan, meditasi, atau aktivitas fisik.
Dari penjelasan diatas dapat di simpulkan bahwa Pernikahan, hasrat naluriah penting dalam kehidupan, tetapi perlu dilakukan dengan kematangan fisik dan psikologis untuk mencegah masalah bagi individu dan keluarga. Perbedaan pandangan tentang pernikahan muda, terutama terkait dengan Nabi Muhammad SAW dan 'Aisyah ra, memunculkan beragam argumen di kalangan ulama. Pendekatan sejarah sosial dan kritik hadis membantu memahami isu ini, sambil menekankan pentingnya mematuhi ketentuan pernikahan dalam Islam. Terapi Kognitif Perilaku (CBT) dapat menjadi solusi efektif dalam mengatasi stres dalam pernikahan, dengan fokus pada komunikasi yang baik, penyelesaian konflik, dan manajemen stres.