Oleh :Â Irvan Usman, Siti Munira Maumbu, Nurlam B. Malise, Laras Wulandari, Siti Anggia Mokoagow
Para Ulama banyak menyatakan tentang kawin hamil adalah perbuatan zina. sebagaimana ungkapan Al-Jamal dalam bukunya 146 Wasiat Nabi untuk wanita yang diriwayatkan oleh Utsman ra bahwa Nabi SAW, bersabda yang artinya: "Pintu langit akan dibuka pada pertengahan malam, lalu akan ada suara yang memanggil-manggil, "Apakah ada orang yang sedang berdoa dan ia pasti akan dikabulkan doanya, apakah ada orang yang sedang memohon dan in pasti akan dikabulkan permohonannya, apakah ada. orang yang sedang dalam bencana dan ia pasti akan dilepaskan dari bencananya. Maka tidak akan ada seorang muslim yang berdoa, kecuali doanya akan dikabulkan Allah. Kecuali perempuan pezina yang menjual kemaluannya atau laki-laki yang suka main perempuan". (HR.Ath- Thabrani). Perihal tersebut diungkapkan oleh Sayyid Sabiq dalam fikih sunnah, Tidak dihalalkan kawin dengan perempuan pezina, begitu pula bagi perempuan tidak halal kawin dengan laki-laki pezina, terkecuali sesudah mereka bertaubat, dengan beberapa alasan sebagai berikut: 1. Allah SWT mensyaratkan agar kedua orang laki-laki dan perempuan yang mau kawin harus betul-betul menjaga kehormatannya. Sebagaimana dalam firman Allah SWT. Didalam surat Al- Maidah ayat 5:ࣖ yang artinya: "Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik, makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara perempuan- perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka. untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa yang kafir setelah beriman maka sungguh sia-sia amalan mereka dan dihari kiamat dia termasuk orang- orang yang rugi". Maksud dari ayat di atas bahwa sebagaimana halnya Allah telah meng- halalkan barang-barang yang baik. makanan orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka dihalalkan pula kawin dengan perempuan-perempuan mukmin dan Ahli Kitab yang menjaga kehormatannya, dimana mereka sebagai suami isteri sama-sama sebelumnya menjaga kehormatan, tidak pernah berbuat zina dan tidak pernah sebagai gundik, 2. Diperbolehkan kawin dengan budak perempuan bila mana tidak sanggup kawin dengan perempuan merdeka. Pandangan Ulama empat mazhab yakni memandang kawin hamil atau zina adalah dari perihal anak dalam kandungannya, yaitu bahwa anak zina sama hukumnya dengan anak hasil mula'anah (anak li'an) dalam kaitannya dengan masalah hak waris mewarisi antara dirinya dengan ayahnya, dan adanya hak mewarisi antara dia dengan ibunya.
Dari sudut pandang mafsadat, ada beberapa hal yang dapat memunculkan mafsadat (kerusakan) dalam pasal 53 KHI. Mafsadat yang berpeluang muncul tersebut adalah berhubungan dengan pelaksanaan perintah Allah tentang zina. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa zina. merupakan salah satu perbuatan yang sangat dilarang oleh Allah dan dalam konteks hukum pidana Islam termasuk salah satu perbuatan yang dikenakan. hukuman had. Larangan Allah mengenai zina dapat ditemukan dalam Q.S. al-Isra ayat 32 yang artinya:"Janganlah kamu mendekati zina. sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan". (Q.S. Al-Isra:32)
Selain larangan zina, Allah juga memberikan penjelasan mengenai ketentuan bagi para pezina. Hal ini seolah- olah terdapat satu pertentangan sekaligus juga mengindikasikan adanya kemurahan Allah. Pertentangan tersebut terletak pada adanya perbuatan yang dilarang Allah pada satu sisi, namun di sisi lain seakanakan Allah memberikan kemurahan berupa ampunan kepada pelaku zina dengan memperbolehkan perkawinan antar pezina. Namun demikian, jika kedua dalil diatas dipadukan dengan ketentuan hukuman bagi pelaku zina, maka tidak aka nada anggapan adanya pertentangan dalil yang dilakukan. oleh Allah. Berikut ini adalah dalil yang berhubungan dengan hukuman yang ditentukan Allah terkait dengan pezina, Yang artinya: "Perempuan yang berzina dan laki- laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman". (Q.S. An-Nur:2).11Â
Di dalam sebuah hadits juga dijelaskan yang artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Bisri bin Umar Zahroniy dari Hammad bin Salamah dari Qatadah dari al- Hasan dari Khittan bin Abdullah dari Ubadah bin Ash-Shamit, sesungguhnya. Rasulullah SAW bersabda, Allah telah memberikan jalan ke luar bagi mereka. (pezina), jejaka dengan gadis, hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dengan janda. hukumannya dera seratus kali dan rajam"
Kedua dalil diatas menunjukkan bahwa setiap pezina diberikan hukuman yang berbeda sesuai dengan status. perkawinan yang disandang oleh pezina. Apabila pezina belum menikah (ghairu muchsan) dan telah menjalani hukumannya, maka dia dapat melaksanakan perkawinan. Namun jika pelaku zina adalah orang yang telah menikah maka sangat tidak mungkin dia akan dapat melaksanakan perkawinan karena hukuman yang disediakan bagi mereka adalah hukuman dera dan rajam (dilempari batu hingga meninggal dunia). Jadi dengan keberadaan kedua dalil diatas dapat dipahami bahwa kemurahan Allah diperuntukkan bagi pelaku zina yang belum kawin, itu pun dengan catatan apabila mereka mampu bertahan hidup setelah adanya hukuman yang harus diterimanya
Anak luar kawin nasabnya dipertalikan kepada ibunya dan tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayah biologisnya.Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad pernikahan yang sah. Status nasab ini kemudian menimbulkan hubungan hak dan kewajiban. Baik kewajiban orang tua terhadap anak maupun kewajiban anak terhadap orang tua. Status anak di luar kawin menimbulkan akibat-akibat hukum positif dan akibat-akibat hukum negatif. Anak di luar kawin bisa mendapatkan hak seperti anak-anak sah perkawinan dengan memenuhi beberapa syarat. Salah satunya adalah anak harus diakui dengan sah oleh orang tua yang membenihkannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 284 KUHPerdata, dengan pengakuan, maka status anak di luar kawin dapat diubah menjadi anak luar kawin yang diakui. Hal tersebut harus melalui pengakuan oleh ayah biologis yang hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah orang asing tanpa sepengetahuan ibu menyatakan diri sebagai bapak biologis atau orang asing dengan sengaja mengakui yang tidak benar untuk memperoleh keuntungan.
Menurut sistem hukum Burgerlijk Wetboek, asasnya adalah hanya mereka yang mempunyai hubungan hukum dengan si pewaris yang mempunyai hak waris, dengan mendapat waris, berarti status anak luar kawin telah berubah menjadi anak luar kawin yang diakui. Namun sebelum melakukan pengakuan, terlebih dahulu melihat Pasal 284 KUHPerdata, karena tidak semua pengakuan dapat merubah status anak luar kawin menjadi anak luar kawin yang diakui, pengakuan tersebut harus dilakukan sesuai dengan cara pengakuan yang telah ditentukan. Hukum Islam tidak mengenal adanya pengakuan, status anak luar kawin atau anak zina tidak bisa diubah menjadi anak luar kawin yang diakui seperti dalam KUH Perdata. Anak luar kawin hanya bisa menuntut nafkah hidup serta biaya pendidikan.
ReferensiÂ
Abu Asma Anshari, Etika Perkawina, Jakarta: Pustaka Panji Mas.1993