Pasca kejatuhan rezim Orde Baru, perjuangan kaum buruh memasuki tahapan baru yang lebih demokratis, baik dalam soal pembentukan, pendidikan, diskusi-diskusi, protes, aksi-aksi unjuk rasa maupun pelaksanaan hak mogok kerja sebagai hak dasar yang dimiliki kaum buruh. Sebuah capaian positif yang mendukung pelaksanaan perjuangan kaum buruh untuk meningkatkan kesejahteraan, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Salah satu alat perjuangan yang berkembang lebih maju dibandingkan masa rezim Orde Baru dan sering dianggap sebagai “senjata utama” kaum buruh dalam mencapai tujuannya atau memenangkan tuntutannya adalah mogok kerja. Pengertian mogok kerja sendiri mengacu kepada UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 1 angka 23 : “Mogok kerja adalah tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.”
Menurut pemahaman dari aturan tersebut, yang dikategorikan sebagai mogok kerja adalah kegiatan pekerja/buruh untuk menghentikan pekerjaan dan kegiatan pekerja/buruh untuk memperlambat pekerjaan. Namun demikian, sebagian besar kaum buruh memaknai mogok kerja hanya sebagai kegiatan untuk menghentikan pekerjaan. Ini terlihat dalam beberapa kasus mogok kerja di tahun 2014 ini, seperti kasus PT.Mekar Armada Jaya (KASBI) [1], kasus PT.SENTEK Batam (FSPMI) [2], kasus PT.Pindo Deli (FSP2KI) [3], PT.Java Peppers Industries (SPBI) [4], kasus PT.Nitori Furniture Indonesia (PPA PPMI, SPSI dan SBSI 1992) [5], kasus PT.Dasan Pan Pacifik (tanpa serikat) [6], dan masih banyak lagi kasus lainnya yang menunjukkan kecenderungan kaum buruh melaksanakan mogok kerja dengan jalan menghentikan pekerjaan.
Tulisan ini tidak akan menjelaskan aturan hukum berdasarkan UU Ketanagakerjaan di Indonesia tentang mogok kerja, melainkan untuk menjelaskan pengertian mogok kerjamenurut organisasi perburuhan internasional (ILO) secara lebih terperinci, sehingga dapat bermanfaat bagi kaum buruh untuk lebih menguasai dan mengembangkan apa yang dianggap sebagai “senjata utama”-nya.
Seperti yang telah disebutkan diatas, mogok kerja menurut pelaksanaannya dikategorikan dalam 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan pekerja/buruh untuk menghentikan pekerjaan dan kegiatan pekerja/buruh untuk memperlambat pekerjaan. Dari sisi pelaksanaan, kedua jenis mogok kerja ini berbeda, tetapi memiliki dampak yang sama kuatnya.
Sedangkan berdasarkan sifat tuntutannya, maka mogok kerja dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) hal, yaitu terkait pekerjaan, serikat buruh dan politik. Pertama, tuntutan mogok kerja yang terkait pekerjaan dapat dijabarkan sebagai bentuk tuntutan dalam mogok yang mendesak perbaikan kondisi kerja maupun kehidupan ekonomi pekerja/buruh. Misalnya telah disebutkan diatas, dalam kasus PT.Mekar Armada Jaya (KASBI), yang menuntut agar buruh yang di-PHK secara sepihak dipekerjakan kembali. Demikian juga dalam kasus PT.Nitori Furniture Indonesia yang menuntut pergantian jajaran direksi, penolakan demosi (penurunan jabatan) dan evaluasi bonus tahunan bagi pekerja/buruhnya.
Kedua, tuntutan mogok kerja terkait serikat buruh dapat dijabarkan sebagai bentuk tuntutan dalam mogok yang berusaha menjamin atau mengembangkan hak-hak berorganisasi/berserikat. Misalkan dalam kasus PT.Volma (FSPMI) [7] di Jombang yang salah satu tuntutan dalam aksi mogoknya adalah menjamin pelaksanaan kebebasan berserikat di perusahaan.
Ketiga, tuntutan mogok terkait politik dapat dijabarkan sebagai bentuk tuntutan dalam mogok yang menolak atau menghendaki adanya sebuah kebijakan politik untuk menjamin dan atau meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh. Dalam 5 tahun terakhir ini, kaum buruh di Indonesia telah mampu mengembangkan kekuatan mogok kerja untuk menolak atau menuntut diadakannya kebijakan maupun aturan hukum sebagai produk politik. Misalnya aksi kaum buruh yang digelar bulan Maret 2012 untuk menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM [8], demikian halnya dengan gerakan Mogok Nasional I yang digelar bulan Oktober 2012 untuk menuntut penghapusan sistem outsourcing dan pelaksanaan jaminan kesehatan nasional [9].
Dari ketiga kategori mogok berdasarkan sifat tuntutannya tersebut diatas, yang sering menimbulkan perdebatan adalah tuntutan mogok terkait politik. Sebab tidak ada aturan di Indonesia yang menyebutkan tentang hal ini, tetapi jika mengacu pada penjelasan yang diberikan oleh Komisi Kebebasan Berserikat – ILO (International Labour Organization), menganggap bahwa “mogok-mogok yang bersifat politis murni tidak termasuk dalam ruang lingkup prinsip-prinsip kebebasan berserikat.” (ILO, 1996d, ayat 481).
Komisi ini juga menyatakan dengan tegas bahwa “ selama organisasi-organisasi serikat buruh tersebut tidak membiarkan permintaan-permintaan yang terkait dengan pekerjaan mereka dipengaruhi oleh aspek politis murni, maka mereka dapat mengajukan tuntutan mereka secara sah dan tidak boleh ada gangguan terhadap kegiatan-kegiata mereka.” (ILO,1996d, ayat 457).
Oleh karena itu, dalam keputusan selanjutnya, Komisi menyimpulkan bahwa kepentingan yang terkait dengan pekerjaan dan ekonomi yang dibela para pekerja melalui pelaksanaan hak mogok tidak hanya terkait dengan kondisi kerja atau yang lebih baik atau tuntutan kolektif yang sifatnya terkait dengan pekerjaan, namun juga mencari solusi atas masalah kebijakan ekonomi dan sosial. (ILO, 1996d, ayat 479).
Dengan demikian maka mogok kerja, baik yang dilakukan di tingkat lokal, kabupaten/kota/propinsi, maupun yang dilakukan di tingkat nasional, dalam rangka menolak atau menghendaki kebijakan politik yang berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan kaum buruh, merupakan mogok kerja yang sah untuk dilakukan oleh kaum buruh.