Media informasi dan komunikasi modern mengalami perkembangan yang begitu pesat sejak awal tahun 2000an. Perahlian dari teknologi analog ke teknologi digital memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan peradaban dunia. Bayangkan saja, bagaimana berkirim pesan atau surat pada era akhir 1900an ke atas yang membutuhkan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu dan bahkan lagi berbulan-bulan. Tanpa kita sadari, hal ini telah disulap menjadi hanya dalam hitungan beberapa detik dengan satu kali sentuhan pada tombol tombol enter atau OK.
Sadar atau tidak, dalam kurun waktu yang demikian singkat, hanya sekitar satu dekade, perubahan gaya hidup, pola komunikasi, pergerakan sosial, politik dan ekonomi, semuanya berada di bawah teknologi kendali yang namanya gadget (smartphone) dan media komunikasi modern lainnya. Hingga pada satu titik, tidak mengherankan ketika kita menemui sejumlah fenomena khas era teknologi modern, dimana Prita Mulia Sari, yang mendapatkan begitu banyak dukungan dalam bentuk penggalangan dana “koin untuk Prita”, dalam mengahadapi gugatan pihak Rumah Sakit Omni Internasional atas tuduhan perncemaran nama baik melaui e-mail. Lalu, ada lagi fenomena gerakan sejuta facebook mendukung Chandra M. Hamzah dan Bibir S. Ryanto, dalam kasus “Cicak vs Buaya”, dan begitu banyak lagi kejadian-kejadian lainnya yang jika sepintas dipikirkan aneh tapi nyata di era ini.
Sebuah paradoks yang berkembang saat ini bahwa internet atau media sosial saat ini terbukti mampu menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Bagaimana tidak, seorang laki-laki bersama dengan teman perempuannya yang duduk di sebuah restaurant mewah, dan didepan mereka tersedia di atas meja hidangan restaurant yang begitu lezat. Tetapi apa yang terjadi, makanan tersebut hanya menjadi teman atau saksi bisu bagi kedua pasangan tersebut yang berselancar ria dengan gadgetnya masing-masing. Lalu dengan siapa mereka berkomunikasi di media tersebut? Jawabannya tentu masih ambigu, tetapi hampir pasti bisa dijawab. Mungkin dengan orang yang sudah dikenal lewat tatapan muka secara langsung, atau mungkin juga dengan orang lain yang belum pernah dikenal sama sekali.
Lain halnya dengan dengan kemampuan jepretan sebuah kamera, yang merekam bagaimana perjuangan anak-anak sekolah di pedalaman Propinsi Banten, ketika menyebrangi sungai dengan bantuan tali tambang yang telah diikat di masing-masing ujung jembatan. Jembatan itu diketahui telah rubuh sekian tahun lamanya. Pada akhirnya, kita ketahui bersama bahwa hanya dengan foto tersebut, ketika disebarkan di media sosial, lalu tegeraklah orang-orang yang tersentuh hatinya untuk memberikan sumbangan dan kembali membangun jembatan yang rubuh tersebut. Betapa bahagianya anak-anak tersebut ketika dapat menyebrangi sungai ini tanpa harus takut lagi dengan resiko-resiko yang mengancam keselamatan jiwa mereka.
Sampai di sini, kita masih bercerita tentang media sosial. Lalu bagaimana dengan media informasi? Tidak jauh berbeda dengan media sosial pada umumnya, media informasi dalam hal ini media massa tidak luput dari kedigdayaan teknologi yang namanya digital ini. Media-media massa cetak yang dulu begitu popluler di mata pembaca setianya pun harus turut ambil bagian dalam prosesi perahlian ke teknologi internet. Salah satu alasan media-media ini (sebut saja Kompas, Tempo, dan yang lainnya) melakukan ekspansi adalah karena harus mengikuti perkembangan teknologi digital yang berkembang. Bak gayung bersambut, masyarakat pun memberikan respon positif, bahwa internet merupakan pilihan yang paling baik dan mudah dalam urusan mengakses berita.
Celakanya kemudahan dalam mengakses berita ini pun diiringi dengan kemudahan pegiat media massa membuat portal berita online (Media Internet). Alhasil, muncullah media-media online baru yang menjamur tak terbendung di negeri ini. Begitu banyak, tidak hanya dalam skala nasional, tetapi skala lokal pun demikianlah ceritanya. Abdul Chaer, dalam kata pengantar bukunya, “Bahasa Jurnalistik” (2010), mengatakan, semasa Orde Baru, terdapat 289 buah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid). Lalu, setahun sesudah reformasi jumlahnya melonjak menjadi 1687 buah penerbitan. Jika media cetak, dilihat dari proses penerbitannya yang jauh lebih rumit pun melonjak demikian tinggi. lantas bagaimana halnya dengan media online? Semua orang atau badan (dalam bentuk usaha) bisa melakukannya hanya dalam hitungan jam. Hal ini, menurut Abdul Chaer, sayangnya tidak diimbangi dengan pertumbuhan kualitas.
Berita-berita dalam bentuk straight news dengan gampang kita temukan di media online mana pun. Kompetisi mendapatkan rating tertinggi di situs www.alexa.com, terkesan semata-mata hanya untuk meraup keuntungan finansial dari sumber iklan. Judul berita yang dibuat semenarik mungkin agar pengunjung merasa perlu untuk mengaksesnya melaui notification di media sosial seperti facebook dan twitter, menjadi tradisi baru cara media massa online mendapatkan tamu di portalnya.
Lalu pembaca atau pengguna internet pun meresponnya dengan rasa penasaran, hingga harus membuka newtab sekedar untuk mengetahui apa yang sedang dikabarkan. Demikianlah sang user digiring untuk melihat berita-berita yang lainnya di tab-tab baru selanjutnya. Lalu apa yang didapatkan? Mungkin hanya sekedar berita palsu (hoax) atau pun berita yang sungguh-sungguh terjadi tapi masih tidak akurat. Ketidakakuratan ini disebabkan karena media-medai online harus kejar tayang, mengingat kecepatan dalam penyajian berita menjadi salah satu kunci persaingan antar media informasi online.
Pertanyaannya, apa landasan yang menjiwai penyajian berita-berita tersebut di atas sebagai sebuah informasi dari data dan fakta yang telah diolah, lalu disajikan dengan benar dan mempunyai makna? Memang, tidak semua berita di internet demikian tidak baik dan tidak benar adanya. Korelasi antara media sosial dan portal berita online, telah menghantarkan masyarakat Indonesia pada suatu tatanan tradisi yang dulunya membaca dengan cermat lalu menyaring dan menganalisanya dengan baik, menjadi sekedar membaca dan mengetahui. Wartawan senior Kompas, Bre Redana, dalam sebuah tulisannya, mengatakan masyarakat Indonesia punya banyak waktu untuk mengarungi dunia maya. Mengingat Indonesia merupakan salah satu negara dengan pengguna twitter dan facebook terbesar di dunia, maka tidak mengherankan jika share berita-berita online marak terjadi saat ini. Memang tidak ada yang salah, peraturan undang-undang pun demikian, tidak ada yang dilanggar.
Melihat kondisi riil di masyarakat, bahwa teknologi digital hadir bak dua mata pisau. Di satu sisi, teknologi ini mampu memberikan kemudahan mengakses berita dan informasi dalam hitungan detik. Tetapi, di sisi lain, ancaman keretakan hubungan sosial dalam tatanan kehidupan bermasyarakat begitu besar. Melihat kondisi seperti ini, banyak pemerhati media sosial memiliki pandangan sendiri terkait fenomena ini. Pengamat media massa, Ignatius Hariyanto, dalam sebuah sesi pelatihan kaderisasi dan komunikasi, mengatakan bahwa ada dua generasi yang hidup di era ini. Pertama, yang disebutnya sebagai generasi transisi (generasi yang hidup masa perahlian teknologi analog ke teknologi digital), adalah generasi yang benar-benar tahu perbedaan kondisi teknologi informasi dan komunikasi sebelum era digital dan setelahnya. Kedua, generasi yang disebutnya sebagai digital native adalah generasi yang tumbuh dan berkembang di era teknologi digital.
Bayangkan saja, di tengah kemudahan penggunaan teknologi di era digital yang meninabobokan generasi muda kita, hal ini juga sekaligus menumpukkan seribu macam ancaman jika memang disalahgunakan. Kejadian-kejadian memprihatinkan, salah satunya, sejumlah orang yang terinjak-injak ketika mengantre Blackberry murah di Pasific Place, Jakarta, menggambarkan kemunduran kemampuan berpikir manusia secara sadar dan kritis dalam merespon perkembangan teknologi. Ini tentunya menjadi sesuatu yang kontras jika dibenturkan dengan kecanggihan teknis media baru. Hal ini pasti menimbulkan crash dalam masyarakat sosial di era ini, atau yang kita kenal dengan “kegilaan warga”, meminjam istilah Bre Redana.