Sersan Yildirim.
Kalau umurnya, aku kira sudah seumur ayahku yakni usia beliau sekitar kepala lima namun ia masih lincah. Sebenarnya ia akan pensiun tahun ini namun ia tidak memanfaatkan tahun ini sebagai hari berhentinya bahkan ia ingin memanjangkan waktu pensiunnya katanya. Ia juga mempunyai tiga orang anak yang sudah menjadi tentara mungkin sama halnya dengan keluarga kami dengan jumlah anak lelaki yang sama dengan kami hanya saja kami mempunyai lima saudari perempuan yang tinggal di kampung halaman.
Ia menceritakan bahwa anaknya yang pertama adalah seorang pilot angkatan udara Utsmaniyyah. Tentu aku belum bisa membayangkan naik kapal terbang sedangkan melihatnya saja belum pernah namun Sersan Yildirim akan menunjukkan padaku bagaimana caranya terbang katanya ia berjanji akan bertemu dengan anaknya jika perang sudah berakhir nama anaknya Mulazim Awwal Ibrahim Yildirim sama halnya dengan saudaraku yang kini ada di kampung halamanku.
Tiba-tiba ia  dipanggil Mulazim memanggilnya aku mempersilahkan. Ada seorang kakek yang nampaknya ia sedang mengemas peralatan yang akan dibawanya . Ia membawa peralatan yang besar sekali. Aku kira ia akan mengira menginap waktu yang lebih lama padahal aku perkirakan seperti perang Dardanella yang tidak akan memakan waktu yang lama mereka sudah akan kabur dari kancah pernah ini seperti halnya mereka yang mencoba masuk Dardanella.
Lebih baik aku saja menanyakannya. Ia langsung menjawab namanya adalah Sulaiman. Ia pernah berperang dengan Rusia. Kami semua dipanggil dan kami akan berjalan menuju Galipoli untuk menghalau Pasukan musuh.
Kapal-kapal musuh sudah berjajar dan tinggal menunggu kapan mereka menurunkan muatannya yang kebanyakan adalah prajurit beserta perlengkapannya.
Essad Pasha yang telah menyusun pertahanan Galipoli untuk melawan pasukan sekutu yang selalu menunggu di mana pasukan Turki akan menempatkan pasukannya.
Ia menginstruksikan bawahannya yang setingkat dengan Mirliva untuk menguatkan pertahanan dan dibagian lain ada senapan mesin. Penting juga untuk mengetahui bagaimana kita menempatkan posisi karena kalau salah posisi sama saja kita tidak berguna dan tidak bisa menghadang.
Hari itu kerugian sekutu banyak sekali dan aku melihat mayat mengapung yang menjadi korban dari senapan mesin maupun artileri ringan kami. Ini tragedi kemanusiaan disebabkan oleh pemimpin mereka yang mau menjalankannya kehendak mereka sendiri.
Seragam Pertama
Sebelumnya kami tidak mengenal seragam. Kami berpakaian yang ada saja ala orang-orang melayu yang ada di sumatera. Kami menggunakan baju dengan sarung yang mengikat pinggang hingga ke lutut. Kalau Ayahku Abdurrahman seringkali mengenakan baju gamis dengan sorban yang melilit dikepalanya.