Seluruh Gedung dan bangunan menjelma menjadi puing. Aku terpaku sambil menenteng senjata legendaris Mausser dan mukaku tertunduk. Aku melihat anak kecil sedang bermain ayunan. Seorang ibu muda sedang menyuapi anaknya di taman bunga di depan saya. Anak-anak berlarian mengejar temannya yang berlari sangat cepat. Anak tersebut cukup tangguh dan ia gesit sekali melewati teman-temannya.
Tiba-tiba saja bom menggelegar menghancurkan taman tersebut. Sekejap saja anak di ayunan terlempar pun dengan ibu yang sedang menyuapi anaknya. Aku berusaha untuk mengejar anak tersebut dan hendak mendekapnya namun yang aku dekap adalah pasir-pasir dan puing. Aku kembali ke alam nyata.
Ada tiga anak yang kepalanya sudah tertembus oleh sniper. Lubang di kepalanya sudah menganga dan aku yakin sudah tiga hari. Aku teriak sekeras-kerasnya dan aku menembakkan peluru ke langit. Orang-orang justru keluar dari persembunyian dari balik reruntuhan.
“Apakah ini keluarga kalian? mengapa kalian tidak menguburkan?”, aku bertanya dengan wajah yang penuh keheranan.
“Kami mau menguburkan namun kami khawatir sniper akan menyerang kami.”
Aku tahu bahwa mereka sedang menunggu untuk menguburkan anak tersebut .
“Lalu kenapa berani begitu aku datang kesini?”
“Sebenarnya aku sudah yakin bahwa kau Mujahidin namun kami mau memastikan terlebih dahulu. Kami yakin kau adalah Mujahidin setelah menangis di depan mayat-mayat anak-anak tersebut”
“Kenalkan aku adalah Nasir, kepala desa kampung ini”, ia menjulurkan tangganya ke saya seorang yang sudah lima puluhan tahun ke atas .
“Aku Ashlan. Aku Mujahidin dari Lattakia”, Aku menyalaminya dengan erat.
“Lattakia, kota basis Nusahariyyah ?“ Wajah Nasir menjadi lebih heran