Siapa yang tahu sebuah telpon akan membawa saya pergi ke Jakarta dan bertemu orang-orang hebat yang menentukan nasib pertanian di negeri ini. Siapa yang tahu juga sebuah tulisan yang panjangnya tak sampai 1500 kata, yang saya kerjakan tak lebih dari dua hari bisa membawa saya menginjakkan kaki ke kantor Kompasiana, dan bertemu orang-orang hebat di belakang layar situs user generated content ini?
Tapi memang, itulah jalan Tuhan yang tak bisa ditebak sepintas dengan narasi buatan manusia. Who knows? Â Â
Berawal dari sebuah momen yang sampai hari ini masih saya ikhtiarkan sebagai  keberuntungan meski banyak di luar sana riak-riak yang mengkriteriakan tulisan tersebut sebagai kecermalangan seorang mahasiswa yang terdampar dalam dunia imajiner dan kerangka berpikir yang out the box.
ANDRE ZALUKHU - PEMENANG PERTAMA AGRI WRITING COMPETITION 2019 KATEGORI PELAJAR/MAHASISWA.
Dan saya baru membukanya tanggal 24 Juni.
Ya, karena tepat di tanggal 21-23 Juni, saya keluar kota untuk acara ret-ret kampus yang mana kami pergi ke daerah yang koneksi internetnya sulit sekali, jauh dari hiruk pikuk keramaian manusia.
Jadilah saya membukanya di tanggal tersebut dan badan ini tergoncang hebat. Ada dua alasan.
Pertama. Saya tidak menyangka menjadi pemenang pertama.
Memang dalam setiap kompetisi kita perlu optimis, tapi kadang ada keraguan apalagi ini adalah tulisan pertama saya di Kompasiana.
Tetap ada kemungkinan orang-orang lama Kompasiana yang mengisi posisi itu sebagai bentuk apresiasi akan dedikasinya selama ini mengisi rubrik-rubrik Kompasiana dengan antusias.
Namun ternyata tidak.
Penilaiannya benar-benar objektif.Â
Bahkan pemenang kedua kategori pelajar/mahasiswa Mas Ade juga sama nasibnya seperti saya. Ini adalah tulisan pertama kami.
Maka, saya kaget bukan main. Kaget sekaligus bersyukur bahwa masih ada harapan bagi penyelenggaraan kompetisi literasi di negeri ini yang objektif dan transparan seperti Kompasiana. Ehem.Â
Pupil mata saya membesar dan me-refresh halaman pengumuman itu berulang kali untuk meyakinkan diri sendiri bahwa orang yang namanya ada di halaman pengumuman  itu memang Andre Zalukhu yang beralmamater kuning, Andre Zalukhu yang jerawatnya tipis, Andre Zalukhu yang kumisnya semi klimis, Andre Zalukhu yang berwajah manis dan Andre Zalukhu yang memang baru pertama kali menulis di Kompasiana. It's me. Yeaah!Â
Karena jujur, sejak awal saya terjun ke Kompasiana karena tergiur dengan lomba-lomba blognya. Saya sudah sering pantengin, namun entah mengapa baru kompetisi Agri Writing Competition Kementan 2019 ini lah yang membuat saya terpincut dan akhirnya memberanikan diri untuk ikut.
So, thanks for God!Â
Alasan kedua adalah bagian administrasi. Pada halaman tersebut pemenang wajib mengkonfirmasi ke panitia maksimal lima hari sejak pengumuman itu dibuat. Saya lemas, dong. Itu pas banget hampir lima hari.Â
Nah, malam itulah orang tua benar-benar menunjukkan kedewasaannya. "Jangan ditunda lagi!"Â
Data terkirim, saya tinggal menunggu balasan.
Meskipun saat itu saya sedikit kecewa karena tidak ada keterangan pemenang akan menerima sertifikat. Padahal sertifikat sangat penting untuk mahasiswa seperti saya. Itu bukti prestasi. Memang sih, sertifikat fisik terdengar konvensional, namun itulah yang masih diterima saat-saat ini di dunia kampus, terlebih di kampus saya.
Mata saya saja yang dimanjakan dengan nominalnya. Ok. Bagian ini tidak usah dibahas. Hehehe.
Besoknya saya screenshot kan halaman pengumuman Kompasiananya, lalu dijadikan WA Stories. Ingin eksis gitu. Dan dari postingan sederhana itu, beritanya mulai menyebar se-antero kampus.
Beberapa hari kemudian, saya senyum-senyum saja mendengarnya, kala Pak Wakil Dekan, Pak Dekan, Bu Wakil Rektor, Pak Rektor, bahkan sahabat-sahabat saya di kampus memberi selamat atas prestasi itu dengan bumbu-bumbu obrolan, "Tulisannya bagus, kamu bikin judulnya itu loh, bikin penasaran dan tak mudah ditebak, kamu udah sering nulis ya di sana?" kala itu saya cuma cengar-cengir saja dan mengatakan 'terima kasih' sembari menggaruk bagian belakang leher dan bergumam dalam hati, "Mereka mungkin belum tahu itu tulisan pertama saya di Kompasiana."
Mereka juga tidak begitu paham apa itu Kompasiana. Maka saya pun tergerak memberi kan edukasi literasi terkait platform ini. "Jadi Kompasiana itu Bapak/Ibu/Bro/Sister adalah..." Â
Satu minggu kemudian hening.
Saya kembali beraktivitas seperti biasa di kampus. Apalagi tanggal 4-5 Juli saya  harus mewakili kampus mengikuti KDMI LLDIKTI 1 tingkat Provinsi Sumut. Jadi saya tidak mikir apa-apa lagi kecuali fokus pada event ini.
Tiba-tiba koneksi internet terganggu. Ada apa ini? (Mode drama).
Ternyata sebuah panggilan misterius dengan nomor telpon rumah.
Saya cuek saja. Saya kira dari kampus perihal event lain-lain atau telpon yang salah sambung, karena memang sudah biasa begitu. Namun ternyata bukan.
Dan terdengarlah berita gembira tersebut.
"Mas Andre, ini saya Rio dari Kompasiana ingin mengundang Mas Andre ke Jakarta sebagai pemenang Writing Agri Competition Kementan..."
Saya mencoba mengatur nafas. Apa iya? tanya saya dalam hati. Â
Ngantuk saya seketika hilang.
Saya mendengar setiap instruksi dari telpon itu dengan seksama. Meneliti dan memfilter tiap informasi. Ya iya dong, saya takut kena PHP.Â
Bahkan saya rekam saking gugupnya biar bisa mendengar ulang.
"Siap, siap saya bisa ke sana."
"Berangkatnya besok malam ya, Mas."
"Besok malam?" tanya saya dengan nada kaget.
"Iya, kita bakal pesankan tiket pesawat pulang perginya dan untuk penginapan juga sedang kita booking. Mas Andre mau pulang tanggal berapa?"
"Entar saya kabari, Mas. Kontak via WA saja biar enak ngobrolnya."
"Siap, Mas. Setelah ini bakal saya kontak langsung ke WA. Nomor WA nya ini kan?"
"Iya, Mas."
"Ok. Berarti Mas bisa terbang besok malam kan?"
"Bi...sa, Mas."
"Ok. terima kasih, Mas Andre."
Setelah telpon ditutup saya teriak-teriak sendiri saking senangnya. Dan auto gak jadi tidur.
Saya langsung kemas-kemas barang dan belanja sore itu juga untuk keperluan ke Jakarta besok. Karena besok harus kuliah pagi, jadi takut tidak sempat packing-packing. Hari ini semua harus disiapkan. Â Meskipun selama proses itu masih ada keraguan, "Beneran gak ya yang tadi?"Â
Saya langsung bikin caption di WA Stories.Â
Ke Jakarta lagi, Bung? Kapan lagi bisa naik pesawat gratis yang harganya udah naik 3 kali lipat?Â
Jujur, saya tidak menyangka bisa mendapatkan kesempatan ini karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya kalau pemenang akan diundang ke Jakarta untuk menerima hadiahnya langsung. Namun Mas Rio menyebut bahwa itu juga panggilan mendadak dari panitia Agri Vaganza untuk memeriahkan acara tersebut. "Maaf banget, Mas kita ngasih tahunya mendadak gini..." kenang saya dari sambungan telpon barusan.
Durian runtuh kok ditolak?Â
Ah, apapun lewat. Yang penting terbang.
Ok. Bagian paling mendebarkan: Menunggu.
Menunggu tiket dikirim, menunggu hotel dipesan.
Dan saya asli takut. Takut kalau acaranya dibatalkan, takut kalau tiba-tiba cuma kena prank. Karena kan tak lucu kalau semua sudah memberi selamat, eh ternyata cuma prank. Bisa copot lutut ini.
Tapi semua kekhawatiran itu sirna bagai kabut laut dihapus angin. Dua tiket dengan format PDF meluncur anteng ke kotak pesan.
Perjalanan ke JakartaÂ
Lagu ' Si Jali-jali' berputar di headset mengiringi perjalanan saya selama dua jam di Bus Damri malam dari Bandara Soetta ke hotel di daerah Ragunan. Saya tak menyangka bisa ke sini lagi. Terakhir saya kemari tanggal 11-13 April 2019 lalu. Waktu itu saya diundang juga oleh Youtubers Jalan Tikus ke Jakarta dan semua biaya juga mereka yang menanggung. Enak ya, jadi orang kreatif. Hehe. Â
Saya dijadwalkan satu penginapan dengan Mas Ade. Dia masih SMK di Telkom. Salut melihatnya. Masih muda tapi sudah berkarya.
Saya tiba di hotel jam 12 malam. Sudah tengah malam dan perut belum makan apapun dari tadi sore. Saya pesan saja via ojol dan makan di hotel. Saya chat Mas Ade yang berada di kamar sebelah, dan sepertinya memang beliau sudah tidur.
Paginya saya baru bertemu dengan Mas Ade setelah beberapa waktu lalu kami hanya bertukar pesan via WA kini kita bertatap muka. Ya, akhirnya mata kita saling menatap rupa masing-masing. Haha.
"Yok, Mas sarapan di bawah," ajaknya.Â
Saya sangat senang dengan Mas Ade ini karena meski dia jauh lebih muda dari saya, tapi sudah punya mimpi jadi seorang pendiri startup bidang pertanian. Dan tak cuma mimpi, progressnya juga sudah jalan. Kami berbincang-bincang sambil saya menikmati sarapan. Â
Kebetulan saya juga sedang menekuni dunia startup. Jadilah pagi itu kita panjang lebar membahas startup kita masing-masing.
Setelah sarapan, kita pergi ke kantor Kementrian Pertanian untuk awarding.
"Mas, acara Agri Vaganza itu apa?" tanya saya di mobil.
"Itu kayak pameran gitu, Mas. Entar nih acara nya kayaknya outdoor," kata Mas Ade dengan logat Jawanya yang khas.
"Beneran, Mas? Kirain di gedung kementriannya."
"Bukan kayak nya, Mas. Tahun-tahun yang lewat juga kayak gitu."
Jujur, saya tidak tahu dan memang sengaja tidak mencari tau apa yang akan terjadi setengah jam ke depan. Menyimak jadwal yang sudah dikirim Mas Rio (Crew Kompasiana) sebelum ke sini pun saya tidak. Karena memang saya menyukai spontanitas. Saya suka dibikin kaget. Apalagi dijadwalkan bertemu dengan Pak Menteri Pertanian, Pak Andi Amran Sulaiman. Itu sudah cukup mendebarkan. Saya gak ingin tahu apa-apa lagi. Yang penting terima hadiah dari Pak Menteri, itu sudah. Â Â
Tibalah kami di komplek gedung kementrian Pertanian yang bikin saya takjub dengan segala kemegahannya.Â
Sepanjang jalan di komplek Kementrian Pertanian kami terus dipandu via telpon oleh Mas Rio. Beliau mengarahkan kami hingga sampai ke venue acara. Saking buru-burunya, saya tidak mengambil satu gambar pun di komplek kementrian ini.
Setelah berjalan kaki cukup jauh dan bertanya sana-sini, kami pun melewati paviliun Agri Vaganza 2019. Wah ini pasti dia. Bendera juga sudah dimana-mana. Di sini berdiri berbagai pameran-pameran, bukan cuma produk pangan namun juga teknologi pertanian.Â
Kita terus berjalan dan akhirnya sampai di sebuah lapangan yang sudah berdiri panggung di depannya dan barisan kursi yang disusun rapi.
Dari desas-desus yang saya dengar, Pak Menteri tak hadir. Digantikan Pak Sekjend. Kecewa sih, tapi tak apalah. Â Meskipun determinasi emosional diri ini sempat low karenanya.
Sebelum acara dimulai, kami berfoto dulu dong. Beberapa pemenang tidak hadir dan diwakilkan.
Ya, inilah alasan saya diundang jauh-jauh ke sini.
Nama kami dipanggil satu per satu. Hingga tibalah nama saya dipanggil.
Saya senyum saja. "Iya, Pak," bingung mau ngomong apalagi.
"Tingkatkan terus prestasinya ya. Masih muda harus tetap semangat."
"Siap, Pak."
Setelah itu kita duduk sebentar, untuk mendengar kata sambutan dari Pak Plt. Sekjend yang sangat cair dan santai. Beliau juga bagi-bagi sepeda waktu itu.
Bahkan saya nerima sms ini.
Ok, setelah berjalan keluar pameran Agri Vaganza 2019, kami menunggu. Tak tau menunggu apa. Katanya menunggu Pak Sekjend lagi. Dan selagi menunggu itu kita berbincang-bincang. Saya dan Mas Andrie, Â Mbak Amel, dan Mas Ade berfoto ria, sharing tentang kepenulisan, dan tukaran kontak WA.
Orang Medan memang masih belum biasa panggil Mas dan Mbak tapi sudah budaya di sini jadi mau bagaimana lagi? Saya berusaha panggil Mas, Mbak dan mengurangi volume dan kecepatan bicara. Memang kalau di Medan kita bicara cepat itu biasa. Tapi di sini, ya saya harus menyesuaikan ritmenya.
Saya juga berfoto di belakang flyer untuk dokumentasi ke kampus yang dibantu oleh crew Kompasiana.
Tak lupa foto dengan crew Kompasiana yang saat itu hadir. Mereka juga sangat kooperatif menjawab pertanyaan-pertanyaan saya terkait lomba-lomba blog di Kompasiana. Seneng banget.
Saya juga baru tau ada Vlogger tuh di Kementan dengan channelnya di Woowww Indonesia. Tapi video Agri Vaganzanya belum ada tuh sejak tulisan ini naik. Ayo, dong Mas Vlogger. Â
Bukan cuma Vlogger, saya juga kedatangan wartawan dari Gatra. Saya jadi narasumber. Kami berbincang sebentar tentang ide tulisan saya, tentang kehidupan mahasiswa, dan lain-lain. Seru juga nih diwawancarai, pikir saya. Â Dan beritanya dimuat esoknya.
"Ok nanti kita konfirmasi ya..." kata Mbak (Saya lupa namanya.)Â
Dan ternyata bener. Saya dan Mas Ade diajak ke sana. Pemenang lain saat itu pamit karena ada kesibukan masing-masing.Â
Sekali lagi, saya dibikin kaget.
Jarak dari gedung Kementan ke kantor Kompas ternyata jauh. Jadi bagi saya jauh itu berkah. Karena bisa jalan-jalan. Haha.
Saya orang Medan yang palingan ke Jakarta cuma sekali setahun itu pun kalau ada event saja, tentu dong masih terkagum-kagum dengan gedung-gedung tinggi di ibukota ini. Saya lihat dengan tatapan  berbinar-binar seakan baru pertama kali melihatnya.
Sepanjang jalan kita cerita, dan Mas Rio enak banget diajak ngobrol tentang Kompasiana. Beliau juga bercerita kalau sering jalan-jalan ke Medan karena ayahnya orang Medan. Mas Rio juga bisikin event-event Kompasiana yang akan datang. "Entar kita main ke Medan juga, loh Mas," katanya. "Wah, seru tuh," jawab saya. Â Â
Kami pun akhirnya tiba. Mas Rio menunjukkan kantor Kompas TV, kantor Tribun, kantor Koran Kompas, dan Menara Kompas. Saya melihat menara Kompas yang katanya baru dibangun dan diresmikan beberapa waktu lalu. Megah sekali. (Saking menikmati perjalanan, saya lupa ambil foto).
Saya pengen naik ke puncak. Naluri anak-anak tak bisa ditahan lagi ketika lihat gedung yang sangat tinggi, pengen menaklukkan.
"Mas, kita bisa naik ke atas gak?"
Dalam hati saya, cocok banget nih untuk jadi foto profil baru.Â
"Haha, belum boleh Mas. Nanti kalau Mas Andre kerja di sini baru boleh."Â
"Haha. Siap, Mas."
Kita pun lanjut makan siang di kantin.
Lalu setelahnya, Mas Rio mengajak ke atas, saya lupa lantai berapa. Kalau tidak salah lantai enam. Kita ke kantor Kompasiana untuk meletakkan barang-barang supaya tournya lebih menyenangkan, lalu kita ke bawah membeli air mineral dan Mas Rio menawarkan beberapa cemillan.
Tour pun dimulai.
Ternyata kantor Kompas Group itu besar banget. Â Dan keamanannya itu, loh. Super ketat. Ada ID Card sebagai akses masuk ke setiap pintu kantor. Security berdiri dan berjalan dimana-mana. Katanya kantor media memang harus dijaga ketat karena kadang ada orang atau oknum yang tidak senang dengan beberapa pemberitaan dari Kompas Media Group. Bahkan untuk foto saja, kita harus benar-benar dapat izin atau setidaknya bersama crew Kompas lainnya.
Kesan pertamanya, ini kantor idaman. Karena kita merasa percaya diri gitu loh kalau jadi bagian dari perusahaan ini. Kita merasa dilindungi gitu. Determinasi saya meningkat kembali.Â
Mas Rio panjang lebar bercerita tentang Kompas dan grup medianya sepanjang kita berjalan kaki menyusuri komplek perkantoran Kompas ini. Mas Rio juga bercerita pengalamannya, awal dia masuk ke Kompas, dan bagaimana budaya kerja di Kompas. Saya tak mungkin menuliskan semuanya di sini.
Jadi saya wakilkan saja dengan beberapa foto.
"Ini Mas departemen untuk mengkurasi..."
"Ini Mas orangnya yang desain-desain gambar untuk kita..."
Dan terus sampai departemen terakhir.
Caranya pun luwes dan asyik. Saya mau meneteskan air mata. Terharu gitu, loh. Masih tak menyangka bisa ke tempat ini.
Dan saya tak mengira kalau crewnya muda-muda semua. Ya, ada sih yang tua. Tapi sedikit. Lagian kerja di Kompasiana juga pasti bikin awet muda. Beneran. Hehe.
Saya kira awalnya tua-tua gitu karena bahasan di Kompasiana kan selalu intelektual dan agak berat gitu. Saya sempat mikir ini kantor isinya doktoral-doktoral semua. Karena kan Kompasiana memang segmennya orang terpelajar.
Sekali lagi saya dibikin kaget. Â
"Yok semua foto di depan rame-rame..." ajak Mas Rio pada semua crew yang bertugas waktu itu. Â
Kami pun berfoto. Inilah wajah crew Kompasiana yang saya ceritakan tadi.
Saya dan Mas Ade diberikan merchandise Kompasiana. Setelah puas berfoto dan melihat-lihat  kantor Kompasiana, Mas Rio mengantar kami turun ke bawah dan berpesan, "Kalau ada yang kurang mohon dimaafkan dan kabari kalau perlu atau ada sesuatu selama di sini ya, Mas...."
Kami benar-benar merasa dilindungi.
"Entar sering-sering nulis ya Mas Andre jangan pas cuma ada event aja," kata Mas Rio diiringi ketawa saya yang sedikit menunduk. Ngenes juga akhirnya.
Saya dan Mas Ade pulang ke kamar hotel dengan keadaan sangat puas.
Besoknya jadwal pesawat saya pulang. Tentang perjalanan pulang tidak perlu diceritakan, namun pada intinya, saya sangat beruntung bisa mencecap momen dan pengalaman seperti ini. It's so expensive.Â
Terima kasih atas momen indah kemarin yang membuat hari ini jauh lebih baik. Baris di CV saya jadi tambah satu, nih. Hehe. Â
Izinkan lah saya sebagai penulis amatir Kompasiana yang baru pertama kali menulis di Kompasiana, dan baru pertama kali juga mengikuti kompetisi blog di Kompasiana, berterima kasih pada Kompasiana karena diapresiasi sedemikian hangatnya bahkan sampai diajak ke kantor Kompasiana bertemu crew-crew-nya yang tampan dan cantik-cantik dan belajar sejarah Kompasiana dari punggawanya langsung. Saya sangat berterima kasih.
Tulisan pertama saya di Kompasiana kini menjadi cinta pertama saya.Â
Saya jadi termotivasi sekali untuk terus menulis di platform ini.
Thanks, Kompasiana. Â
Tulisan pertama itu bisa dibaca di sini.
Bagi setiap orang yang memang mencintai dunia tulis menulis, pasti akan menemukan rumah yang tepat. Kompasiana mungkin wadah yang tepat bagi saya untuk menulis dan sembari mengujinya menjadi nyata, mari kita buktikan dengan tulisan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya.
Semoga, ya. Karena passion tak mengenal kata terlambat.
Sampai berjumpa di event dan tulisan lainnya, Kompasianer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H