Ada hal menarik yang terjadi persis di depan mata saya. Pada saat saya berdinas di sebuah kabupaten di Jawa Timur, ada seorang ODGJ yang sering berjalan di sepanjang pantura. Aktivitas ini ia lakukan hampir setiap hari, dengan atribut yang tidak biasa. Suatu kali, ketika saya dan teman saya sedang berbelanja di temannya indoma*et, saya melihat ODGJ ini masuk ke dalam mini market, dan membeli rokok Ess* Blue, yang harganya berkisar 30-40 ribu. Dia dilayani dengan baik, dan tidak membuat huru hara. Selesai transaksi langsung keluar. Kami, yang berada persis di belakangnya menyaksikan peristiwa itu menganggap hal ini sangat menarik. Bahkan, yang lebih menarik lagi adalah karena rekan saya juga membeli rokok, namun harganya tidak sampai setengah dari yang dibeli oleh ODGJ tersebut. Sambil berkelakar saya bilang ,"Mending jadi gila aja pak, rokoknya enak."
Peristiwa diatas jadi tambah menarik manakala PPN naik menjadi 12 persen dan membuat heboh negara ini. Tahun baru yang seharusnya diisi dengan kembang api dan petasan, malah diisi dengan lembur pegawai Kemenkeu dan penerbitan PMK baru demi meredam gejolak di masyarakat. Saking hebohnya bahkan seorang kepala negara sampai mendatangi, bukan didatangi, oleh anak buahnya. Ya, PPN menyentuh semua golongan masyarakat, bahkan orang gila sekalipun tidak luput dari PPN.
Pertanyaan menariknya adalah kenapa PPN, bukan PPh? Dari beberapa sumber yang saya baca dan dengar, karena PPN menyentuh banyak lapisan masyarakat, termasuk masyarakat yang selama ini tidak tersentuh PPh. Ya, banyak sekali rakyat Indonesia yang belum memenuhi kewajiban perpajakannya. Jangankan bayar, mungkin lapor pun belum pernah. Sehingga kalau PPh yang diutak atik, yang kena adalah pihak-pihak yang selama ini sudah cukup patuh pajak, yaitu pegawai kantoran yang sudah cukup tertib secara administrasi. Padahal, potensi pajaknya bukan disana, melainkan pada shadow economy diluar tax ratio pajak kita yang hanya 8%. Banyak sekali pelaku usaha UMKM misalnya yang tidak patuh pajak, tapi bisa beli mobil, rumah, jalan-jalan ke luar negeri. Aktivitas yang mereka lakukan ini tentu bukan ranah PPh, tapi ranah PPN alias pajak konsumsi.
Kenaikan ini juga bukan semata-mata karena pemerintah butuh amunisi baru dengan pemekaran beberapa kementrian dan pembentukan lembaga-lembaga atau instansi baru, atau dengan adanya program pamungkas seperti makan bergizi gratis. Tapi kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen merupakan amanat UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). UU yang sudah diketuk palu oleh wakil rakyat tentu harus dipatuhi dan dilaksanakan, dan tidak bisa serta merta dibatalkan. Kenaikannya juga sudah dilakukan secara bertahap dan disetujui oleh rakyat melalui wakilnya, DPR, sehingga hal ini tentu bukan barang baru.
Lantas kenapa heboh?Â
Menurut saya, kehebohan ini bukan pada besaran pajak yang dibebankan kepada rakyat. Tapi karena rakyat muak dengan kelakukan elit-elit di pemerintahan. Gaya hidup yang mewah, sampai jalan-jalan berkedok studi banding ini semua dibiayai oleh pajak, yang merupakan penerimaan terbesar negara ini. Belum lagi perilaku koruptif yang masif di semua lini pemerintahan. Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, semua berlomba-lomba mempertebal kantong pribadi. Rakyat hanya dijadikan sapi perahan yang terus ditekan untuk memenuhi hasrat hidup nyaman bin enak para pejabat. Mengutip pernyataan dari Ferry Irwandi, sebaiknya pemerintah menunjukkan political will yang baik terlebih dahulu, sebelum membahas-bahas uang. Jarang sekali, kalau bukan hampir tidak pernah, setiap kepala kementrian atau lembaga mengatakan "Anggaran yang diberikan kepada kami sudah cukup dan akan kami gunakan sebaik mungkin." Semua berkata bahwa anggaran yang diberikan kurang dan tidak cukup untuk menjalankan program-program instansi yang dipimpin.
Untuk kedepan, mungkin para pejabat harus bisa merangkul rakyat bukan dengan kata, tapi dengan tindakan. Misalnya dengan menghukum tegas para koruptor yang sudah menyebabkan kerugian negara dan memperbaiki kinerja setiap institusi secara riil, bukan berbasis survey. Saya yakin rakyat tidak keberatan kalau pajak yang dipungut digunakan secara transparan dan akuntabel untuk kepentingan bersama. Jangan sampai, bapak-bapak pejabat yang terhormat kalah waras dengan ODGJ yang sudah ikut bayar PPN. Horas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H