Belum habis cerita kecelakaan maut bus Putera Fajar, beberapa hari ini lini masa sudah ramai dengan deretan kecelakaan bus pariwisata yang mengangkut peserta study tour. Kalau kita ketik pencarian "kecelakaan study tour", maka yang muncul adalah sederet peristiwa pilu kecelakaan yang tidak hanya menimbulkan korban luka, tapi juga korban jiwa dalam kurun waktu berdekatan, dengan lakon bus pariwisata dalam perjalanan mencari kitab suci ke Barat (study tour). Apa lacur, peristiwa yang seharusnya memberi memori indah malah jadi nestapa.
Siapa salah? Apakah study tour masih diperlukan? Atau itu cuma akal-akalan supaya bisa jalan-jalan gratis?
Study tour, bersinonim dengan field trip, secara harafiah bisa diartikan sebagai perjalanan untuk belajar. Atau gampangnya jalan-jalan, sambil belajar.
Kenapa dianggap perlu? Dianggap perlu agar anak-anak tidak bosan dengan pelajaran di dalam kelas saja, rutinitas monoton yang mungkin menghambat kreativitas siswa, sehingga para pendidik meyakini murid akan mendapatkan ilmu atau pengetahuan di luar tembok sekolah, dengan berjalan-jalan di pinggir Pantai Kuta atau menonton sendratari Kecak di Pulau Dewata. Namun belakangan, malah sering melibatkan penyidik.
Faktanya, study tour bukan merupakan agenda resmi yang bersifat wajib. Beberapa daerah seperti Jawa Tengah melalui dinas terkait bahkan mengklaim sudah melarang aktivitas study tour tersebut sejak tahun 2020. Selain berpotensi memberatkan orangtua siswa, hajatan ini juga rawan pungli dan penyimpangan. Tapi dilapangan, sering sekali kita jumpai bus-bus pariwisata dari berbagai daerah, termasuk Jawa Tengah, menuju salah satu, kalau bukan satu-satunya destinasi favorit study tour, Bali. Mungkin sudah bosan dengan Candi Borobudur atau Prambanan.
Bus-bus pariwisata, lengkap dengan nomor urut dan tulisan-tulisan khas kekinian yang ditempelkan di punggung bus seperti "Selamatkan anak bangsa dari bahaya kurang piknik" atau "SMA XXX Goes To Bali: Pergi hepi-hepi, pulang tak galau lagi" itu seringkali berpacu, berlarian di Pantura, salip-menyalip diselingi truk-truk berkelir "Ayo tobat sebelum sekarat" atau "Pergi karena beras, pulang karena rindu." Bagaimana bisa? Kenapa tidak ditindak kalau memang dilarang? Sungguh kau buatku bertanya-tanya~ (Raisa, Teka Teki).
Rentetan peristiwa tadi tentu saja menimbulkan keresahan. Jika tidak segera diperbaiki, kecelakaan serupa sangat mungkin terjadi lagi. Pemerintah melalui kementrian dan instansi terkait harus mengambil langkah tegas. Aturan seperti mengharuskan bis pariwisata jarak jauh untuk membawa minimal dua supir dalam satu armada harus benar-benar ditegakkan, jangan cuma isapan jempol belaka.
Kalau study tour dilarang, industri pariwisata yang melibatkan pengusaha bus, agen-agen pariwisata dan turunannya tentu bisa terkena dampak negatif. Kasihan pula. Kalau bis-bis pariwisata dirawat sekenanya, padahal bayaran yang diterima terbilang pantas, apa ada tikus jadi-jadian yang menggerogoti para pengusaha bus, memaksa mereka memangkas biaya pemeliharaan agar bis tetap bisa mengaspal tanpa gangguan? Perlu diusut, siap tau usut punya usut...
Horas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H