Mohon tunggu...
SITUMORANG YOSUA
SITUMORANG YOSUA Mohon Tunggu... Akuntan - To celebrate life, to do something good for others

Writing is living in eternity. Your body dead, your mind isn't.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Martin Odegaard: Beda Piranha dan Bawal

17 Maret 2023   14:32 Diperbarui: 17 Maret 2023   14:40 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi fans sepakbola, nama Martin Odegaard seharusnya tidak asing lagi. Ia sudah menjadi buah bibir sejak Real Madrid mendapuknya menjadi remaja termahal dan meyakini bakat besarnya sejak usia dini. Lahir dan besar di Norwegia, Odegaard memulai karir profesinal sepakbolanya di usia 14 tahun bersama Stromgodset. Para scout, pencari bakat El Real melihat potensi besar dalam diri Odegaard dan meyakinkan para petinggi Real Madrid untuk merekrut berlian muda ini dan menjadikannya sebagai anggota tim utama termuda, berlatih bersama para bintang Madrid seperti Gareth Bale, Karim Benzema, dan Cristiano Ronaldo. Hal ini sangat luar biasa karena perlu digaris bawahi, bahwa Real Madrid bukan tim sembarangan yang akan melakukan rekrutmen asal-asalan. Bisa kita simpulkan, Odegaard tidak mungkin lolos kalau bukan karena kualitas dalam dirinya, apalagi pake nyogok atau jalur orang dalam.

Namun, kisah Odegaard tidak semanis yang dibayangkan. Setelah debut sebagai pemain termuda Real Madrid, ia kesulitan untuk mendapat menit bermain reguler. Padahal untuk pemain seusianya, penting mendapat jam bermain sebanyak mungkin agar kemampuannya semakin terasah. Keputusan diambil. Odegaard memulai petualangannya sebagai pemain pinjaman di beberapa klub. Ia merantau tidak hanya di La Liga, tapi juga ke beberapa tim di Eredivisie seperti Vittese dan Heerenveen. Mendapatkan jam bermain yang lebih banyak dan pengalaman bertanding, harapannya agar mampu menembus skuad utama Real Madrid tidak juga terwujud. Namun perkembangannya positif. Ia diapresiasi Arsenal, salah satu tim papan atas Liga Inggris yang berminat menggunakan jasanya.

Buah manis kesabaran dalam perantauan mulai menunjukkan hasil yang sepadan. Ia dipercaya mengisi satu tempat di lini tengah Arsenal. Itupun sudah luar biasa, karena Arsenal jelas beda kelas dari Vittese, Heerenveen, dan Real Sociedad. Persaingan di Liga Inggris juga jauh lebih ketat. Jumlah pertandingan yang diikuti oleh setiap tim juga lebih banyak dibandingkan klub dari liga-liga lain di Eropa. Tidak banyak antusiasme yang mengiringi kedatangan Odegaard ke Emirates Stadium, markas Arsenal. Selain karena reputasinya yang tidak terlalu mengilap di liga sebelumnya, juga karena banyaknya pemain-pemain hebat yang bergabung di Premier League setiap musimnya.

Namun Odegaard mampu menjawab kepercayaan Mikel Arteta, manajer Arsenal. Ia tampil begitu bagus dan tenang di lini depan Arsenal yang mayoritas diisi pemain-pemain muda, mampu menyatu dengan baik dalam sistem permainan Arsenal, memberi kontribusi positif baik dalam goal maupun assist. Entah ini sesuatu yang sudah diprediksi dari seorang wonderkid, bukti bahwa Odegaard memang piranha, bukan bawal, seperti wonderkid-wonderkid lain, yang tidak mampu menghidupi labelnya dan berakhir pesakitan.

Setiap tahun selalu bermunculan pemain berlabel wonderkid. Tapi sedikit dari mereka yang sanggup menahan beban itu dan menunjukkan kapasitasnya. Sebut saja Hachim Mastour, Alen Halilovic, Freddy Adu, Giovani Dos Santos, dan masih banyak lagi yang lain. Nama-nama ini juga meraih atensi di usia yang begitu muda, tapi tidak bisa menghidupi ekspektasi yang disematkan pada dirinya. Hachim Mastour bahkan pernah tampil satu layar dengan Neymar, salah satu superstar saat ini, dan mengambil jalan yang hampir sama dengan Odegaard, merantau ke Belanda, tapi tetap tidak mampu bersaing di papan atas sepakbola.

Terbaru, ia didapuk menjadi kapten Arsenal. Mengomandani rekan-rekannya di lapangan, menjadi perpanjangan tangan pelatih ketika tim sedang bertanding. Keputusan ini sempat di ragukan Rio Ferdinand, yang merasa Odegaard tidak akan mampu mengemban tugas ini dengan baik. Ia menggantikan Aubameyang dan Lacazette, pemain senior yang reputasinya di sepakbola tidak diragukan. Ia juga harus memimpin pemain-pemain yang lebih senior, seperti Granit Xhaka, Thomas Partey, Oleksander Zinchenko, dan Gabriel Jesus. Jelas tidak mudah. Sebagai kapten dia tidak hanya harus cakap dalam bermain, tapi mampu mendapatkan respek dari rekan timnya sehingga ia didengar dan dihargai. Ia juga harus menjaga sikap didalam dan diluar lapangan, menjadi contoh dan teladan, serta mampu membangkitkan semangat dan motivasi rekan-rekannya. Rio terpaksa menelan ludahnya sendiri.

Beberapa kali hal ini terlihat, seperti ketika salah satu rekannya, Takehiro Tomiyasu melakukan blunder melawan Manchester City yang berakibat fatal. Odegaard tertangkap kamera mengangkat dagu Tomiyasu yang tertunduk lesu. Ia mau mengingatkan rekannya untuk tidak larut dalam kekecawaan berlebihan, dan pertandingan belum berakhir. Terakhir, ketika Arsenal tersingkir oleh Sporting Lisbon di depan pendukung sendiri, Odegaard berujar "Kami menang dan kalah bersama-sama. Ketika menang kami senang, ketika kalah kami menjadikan itu motivasi." Ia tidak menyalahkan siapapun, termasuk koleganya Gabriel Martinelli yang gagal menjalankan amanah. Ia melihat kekalahan ini secara kolektif, bukan individu. Tidak semata-mata memandang kegagalan berasal dari dalam diri, tapi juga ada faktor eksternal, sehingga tidak perlu diambil pusing berlebihan. Nyatanya, pemain Sporting Lisbon memang tampil luar biasa meski tampil jauh dari rumah. Kata dan sikapnya kadang membuat kita lupa kalau dia masih berusia 24 tahun.

Dalam dunia kepemimpinan, apa yang dilakukan Odegaard menunjukkan bahwa attitude atau sikap sangat penting. Berlabel wonderkid, ia tetap rendah hati ketika dipinjamkan ke klub-klub semenjana. Ia tetap berusaha tampil sebaik mungkin, dan mengasah diri sebaik mungkin. Ia bersabar dalam usahanya untuk meraih satu tempat di tim yang punya reputasi besar dan dapat mencicipi kompetisi prestisius seperti Liga Inggris dan Liga Champions, soon to be. Talentanya memang wonderkid, tapi ia memposisikan dirinya sama seperti pemain-pemain lain. Talent is never enough kalau kata John C. Maxwell. Dan semua harga yang sudah ia bayar akan segera ia nikmati. 

Arsenal dalam posisi menjadi kandidat terkuat juara Liga Primer. Mereka berpeluang buka puasa setelah 20 tahun. Mereka juga akan kembali bersaing di Liga Champions, sesuatu yang selama ini sulit untuk mereka raih. Masa depan memang tidak ada yang tahu, tempe semua, namun dengan penampilan yang konsisten, sulit rasanya membayangkan di akhir musim kompetisi nanti mereka terdampar jauh dari apa yang sudah mereka perjuangkan minggu demi minggu. Dan ini tidak lepas dari peran warga negara Norwegia, Martin Odegaard, sang wonderkid yang berevolusi menjadi wonderman. Ia memang piranha, bukan bawal. Horas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun