Hari ini, Mendikbud baru membawa sebuah gagasan baru yang cukup membuat gaduh netizen, setidaknya yang saya baca di sebuah forum FB: full day schooling.
Pertama, saya tidak terlalu kaget, dengan kata lain, sudah menduga sebelumnya akan muncul ide ini. Inspirasinya, mungkin tidak lain karena adanya model SDIT di masyarakat kota masa kini.
Gambarannya adalah, ada unsur cara belajar santri di model sekolah ini, yakni ada pembekalan baca-tulis quran, makan siang bersama, dan kegiatan bersama di luar kelas klasikal lainya.
Tanggapan saya yang kedua, saya agak kecewa dengan alasan "jam tanpa bimbingan ortu" yang dimiliki anak sepulang dari sekolah "reguler". Tentu, alasan ini tergolong sempit. Karena ini hanyalah tipikal kondisi sosial masyarakat perkotaan, sedangkan berbicara lingkup nasional, alasan ini bisa jadi kurang tepat.
Ketiga, para netizen saya nilai lebih banyak yang menolak, walaupun kebanyakan alasan yang diajukan masih terlalu lemah. Saya sendiri?
Jujur, untuk beberapa tempat, model sekolah semacam ini sangat cocok. Tetapi, saya lebih mendukung adanya otonomi sekolah yang lebih luas. Artinya, model di satu tempat boleh jadi berbeda dengan daerah lainnya, tergantung dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat setempat. Ingat, Indonesia punya 30+ provinsi. Agak kurang bijak rasanya jika menyeragamkan model sekolah yang terlalu ideal di tempat yang masih minim sarana dan tenaga.
Satu aspek yang sangat saya dukung adalah lebih ditingkatkannya pendidikan karakter, dan dikuranginya aspek pengetahuan (hapalan). Bahkan saya ingin menambahkan, sebaiknya lebih diperbanyak kegiatan pembekalan life skill, budaya gotong royong, dan real/simulated problem solving. Sudah waktunya siswa diajak menarik benang merah dari materi yang dimiliki untuk menjawab permasalahan nyata yang hadir di sekitar mereka.
Sekadar beropini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H