Mohon tunggu...
Andre Widiartanto
Andre Widiartanto Mohon Tunggu... Guru -

Merah Putih. 30s. Mungil. Kutu Buku. Senin Kliwon. Gemini. Kerbau Kayu. O+. Milk not Coffee. Phlegmatic. Auditory.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kurtig di Semester 1 T.A. 2015/2016

22 Desember 2015   09:38 Diperbarui: 22 Desember 2015   09:48 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti yang sudah saya janjikan sebelumnya, kali ini saya memberanikan diri untuk memotret topik Kurikulum 2013 di akhir tahun 2015 ini. Sebelumnya, bagi Anda yang sudah tidak bersentuhan dengan dunia pendidikan, saat ini Kurtig diberlakukan secara terbatas di sekolah rintisan (yang ditunjuk dan dianggap siap) dan sekolah yang mengajukan diri, sisanya diperbolehkan dan hampir pasti memutuskan untuk kembali ke KTSP, kurikulum 2006. Di wilayah saya sendiri, Kota Malang, tahun ini (dan bahkan sejak tahun lalu) seluruh sekolah khususnya, yang saya tahu, di tingkat sekolah dasar menggunakan Kurikulum 2013. Sementara wilayah di sekitar kami, khususnya wilayah Kabupaten Malang, melalui Pemkab memutuskan untuk kembali ke KTSP, kecuali untuk beberapa sekolah pilihan.

Lalu bagaimana implementasi kurikulum selama ini? Secara umum, sebagaimana perubahan yang terjadi dalam organisasi secara umum, banyak terjadi ketidaklancaran dalam implementasi. Dari masalah yang paling sering dikeluhkan dan dipermasalahkan, setidaknya ada tiga kategori permasalahan yang muncul dalam implementasi K-13 ini, yaitu: teknik penilaian, proses pembelajaran, dan sarana pembelajaran.

Teknik Penilaian

Hal yang paling banyak dikeluhkan oleh guru seputar kurikulum 2013 adalah masalah seputar penilaian. Menurut pendapat saya, hal ini dikarenakan banyak faktor. Yang pertama, pelatihan yang kurang. Artinya kurang dipahami dan dikuasai, sehingga meskipun sudah dilakukan pelatihan, namun pada kenyataannya banyak instruktur yang belum menguasai teknis penilaian yang dimaksud oleh kurikulum, hasilnya guru juga "meraba-raba" dalam melakukan penilaian. Selain itu, pelatihan juga masih dirasa kurang pada aspek monitor dan evaluasi, artinya tidak ada pendampingan lanjut setelah sekolah mengimplementasi K-13 ini, sehingga sekolah tidak mendapat gambaran dan balikan, apakah proses yang telah dilakukan sudah benar atau masih keliru. Sebagai bukti, guru melakukan penilaian di setiap pembelajaran, atau diadakan ulangan harian, atau setiap sub-tema, atau setiap tema, atau pada UTS/UAS saja, atau pada setiap muatan, atau pada setiap aspek, atau bagaimana? Lalu bagaimana merekam dan memproses nilai-nilai ini?

Sebetulnya, masalah ini sudah terjawab di Panduan Teknis Penilaian di SD yang dikeluarkan Desember 2013, juga di Panduan Teknis Penilaian dan Pengisian Rapor di SD yang dikeluarkan pada Desember 2014, terlebih lagi panduan ini telah di-update pada Desember 2015 ini pada dokumen Panduan Penilaian di SD. Selain itu, nantinya Kemdikbud akan melakukan pelatihan yang lebih komprehensif, bahkan ada pelatihan dan pendampingan langsung di setiap sekolah.

Proses Pembelajaran

Untuk masalah ini, sebenarnya saya sangat tidak berkompeten untuk menilai. Namun dari kacamata awam saya, masih banyak guru yang melaksanakan pembelajaran gaya lama yaitu dengan teknik ceramah (ekspositori). Padahal seharusnya K-13 disampaikan dengan pembelajaran berbasis aktivitas. Selain itu, berdasarkan buku babon, banyak juga pembelajaran yang dinilai "nggak nyambung" dengan tema yang dipilih. Hal lainnya adalah mind set guru yang masih cenderung Content Based. Padahal sejak 2004, kurikulum kita sudah menetapkan penggunaan pembelajaran Competency Based. Saya pribadi masih perlu banyak belajar tentang perbedaan keduanya sih. Pun masalah ini tidak bisa dipersalahkan kepada guru sepenuhnya, karena bagaimana pun juga akan ada ujian sekolah di akhir masa sekolah (kelas VI). Sedangkan yang dirasakan guru, terutama di kelas IV dan V, pembelajaran kurikulum 2013 dinilai "tidak ada isinya". Artinya banyak pembelajaran yang tidak menanamkan kompetensi, alih-alih hanya sekadar tahu (lower order thinking skill, C-1). Sebagai contoh, dan ini yang paling dikeluhkan, kemampuan menguasai muatan pelajaran matematika yang lemah. Salah satu alasannya karena setiap hari pembelajaran berganti, dan tidak banyak kesempatan untuk drill, latihan, dan repetisi. Parahnya, serupa dengan masalah penilaian, keberhasilan dan kegagalan pembelajaran juga tidak dimonitor dan dievaluasi pasca pelatihan guru.

Untuk masalah pembelajaran, rencana Kemdikbud juga sudah cukup jelas. Tinggal menunggu bagaimana koordinasi dengan tenaga di daerah agar pelatihan terlaksana secara optimal dan sesuai dengan rencana yang ideal tersebut.

Sarana Pembelajaran

Media pembelajaran di kurikulum 2013 cenderung kembali sentralistik, yaitu menggunakan buku babon (buku pegangan guru dan buku siswa) yang melahirkan ketergantungan pada pengadaan buku ini. Padahal idealnya guru punya kewenangan dan kewajiban untuk mengadaptasi tema dengan konteks/lingkungan siswa. Namun sekali lagi guru tidak bisa dipersalahkan, karena buku pegangan guru juga tidak mudah diakses. Memang buku guru dan siswa bisa di-unduh di situs BSE, namun fakta hari ini, apa ya semua guru sudah melek IT? Belum lagi bila ada buku edisi revisi. Sebagai contoh, tema Diri Sendiri yang berubah menjadi tema Diriku. Akhirnya, guru tidak memiliki kesempatan yang luas untuk mengembangkan pembelajaran dan ikut saja arus yang ada di buku yang itupun baru belakangan hari didapat. Alhasil pihak sekolah dituntut untuk mencari cara dan solusi "kreatif" agar pembelajaran K-13 dapat berlangsung mesti dengan "tertatih-tatih".

Lalu perbaikan apa yang sudah dilakukan selama satu tahun ini? Temuan saya adalah penyederhanaan pendidikan karakter dari 18 nilai/sikap di dokumen Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Puskur, 2010) diringkas menjadi 6 (enam) nilai/sikap sosial untuk tingkat sekolah dasar, yaitu Jujur, Disiplin, Tanggung Jawab, Santun, Peduli, dan Percaya Diri (berdasarkan pedoman penilaian sikap sosial, Desember 2015). Enam sikap tersebut kemudian ditambahkan lagi berupa sikap spiritual yang dirinci menjadi 4 (empat) nilai/sikap spiritual yakni taat beribadah, pandai bersyukur, rajin berdoa, dan toleransi beragama (berdasarkan pedoman penilaian sikap spiritual, Desember 2015).

Sebagai penutup, segala tantangan dan hambatan yang tertulis di atas seyogyanya dapat menjadi pelajaran kita bersama. Kementerian Pendidikan tampaknya sudah menyadari akan pentingnya persiapan yang cukup sebelum dilakukannya implementasi pada semua kebijakan. Namun bagaimana dengan pihak lainnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun