Jokowi, dari Perserikatan Partai-Partai Menuju Perserikatan Bangsa-Bangsa!
Oleh: Andre Vincent Wenas
Jokowi ini riil, nyata serta dekat dengan kita. Ada di depan kita selama hampir 10 tahun terakhir. Bagi publik Solo jelas lebih lama lagi.
Suatu periodisasi yang cukup panjang untuk kita sama-sama bisa menilai kepemimpinannya. Terlalu lama pula untuk menyimpan kapalsuan, genuine atau tidak. Jadi gampang dicerna publik sebagai role-model atau tokoh panutan.
Perjalanan kepemimpinannya terbuka dan terbaca dengan jelas bagi siapa saja yang mau dengan jujur menilai.
Segelintir pihak dengan cara pandang ala politisi boleh saja memberi penilaian berbeda. Seperti yang disuarakan Tempo, katanya Jokowi itu haus kekuasaan, melanggengkan dinasti, sifatnya otoriter, dan seterusnya.
Tapi bagi mereka yang menyorotinya dengan optik kenegarawanan akan memperoleh gambaran yang berbeda. Gambaran tentang kekuasaan, dinasti dan otoritarianisme itu mendapatkan perspektifnya yang lebih utuh. Lengkap.
Semua itu terbaca dalam terang sorotan lampu "demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Kekuatan Indonesia dibangun lewat sinergi berbagai komponen bangsa, syaratnya persatuan. Maka bersatulah (Persatuan Indonesia), yang dijalin lewat jalan koalisi besar, yang bakal bertranformasi jadi Barisan Nasional atau Barisan Indonesia Maju (Bima).
Inilah yang bakal jadi cetak biru perpolitikan nasional menjelang Indonesia Emas 2045. Kalau menggunakan jargon Soekarnoisme, sebutlah itu dengan semangat "Gotong Royong". Intisari dari Pancasila itu sendiri.
Membangun koalisi besar adalah kerja di aras real-politik Indonesia. Jokowi-Maruf yang akan dilanjutkan oleh Prabowo-Gibran. Mereka mesti membentuk arsitektur pemerintahan (Eksekutif & Legislatif) yang solid. Sehingga roda pemerintahan bisa efektif (dan efisien). Sementara proses "check and balances" (saling kontrol) tetap berjalan.