Namun untuk sekedar negative-campain seyogianya juga melengkapi kritiknya dengan data atau informasi yang mendukung. Kalau tidak, itu sekedar jadi kenyinyiran yang konyol.
Kita sebetulnya ingin mendengar kritik dari Ahok yang berdasar analisis. Bukankah ia sering bicara kritis dan keras (walau untuk sementara pihak sering dirasa kasar).
Tapi sayang dalam dialognya dengan seorang oma (nenek) yang akhirnya viral itu, Ahok seperti kehilangan jatidirinya. Ia lebih banyak meracau dan akhirnya terkesan menyerang Jokowi dan Gibran secara membabi-buta.
Babi-buta? Ya, asal seruduk. Seruduk dulu, pikirnya belakangan.
Sayang sekali. Dampaknya malah bisa menghancurkan citra paslon yang ingin didukungnya.
Kita tidak soal dengan gaya emosionalnya Ahok, asal tetap jujur dan berdasarkan fakta. Sayang itu tak ada dalam dialognya dengan oma itu.
Kita juga berharap, dengan bergabungnya Ahok ke PDIP bisa mewarnai parpol tua itu. Misalnya dengan membereskan kasus Harun Masiku.
Tapi sayang, soal itu pun masih menggantung. Terabaikan. Warna Ahok malah semakin pudar. Ya, sayang sekali.
Jakarta, Sabtu 10 Februari 2024
Andre Vincent Wenas,MM,MBA., Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H