Post-Truth, Pasca-Kebenaran Itu Kebohongan yang Difabrikasi
Oleh: Andre Vincent Wenas
Menteri mencekik wakil-menteri saat rapat kabinet. Infonya A1 katanya. Ini isu yang hot, maka segera sebarkan ya! Begitu pesannya.
In retrospect, garis bawahi kata "katanya". Kata siapa? Ya kata yang memberi info. Tapi ini info A1 lho, katanya. Kata siapa? Ya kata yang memberi info A1 ini. Begitu terus. Dalam sirkuit informasi, fenomena seperti ini terus berputar dalam kecepatan tinggi.
Dalam balapan informasi plus tambahan label "info A1" sebagai bumbu kredibilitasnya maka "kebenaran" tercipta dengan sendirinya. Apakah itu faktual? Ah itu soal belakang, yang penting info ini "kita anggap berbobot A1".
Dan... "karena berbobot A1" dan pelakunya adalah "seorang menteri" yang dianggap "musuh politik" dari kubu kita sendiri maka isu itu "kita anggap benar" saja. Dan "kita suka" dengan isu seperti ini. Maka... Â segera sebarkan, secepatnya.
Begitulah sirkuit informasi di era post-truth saat ini. Kita melabelnya sebagai penyebaran kabar bohong. Tapi menurut si penyebar berita, bahwa berita itu betul-betul benar, benar menurut si penyebar berita (kabar bohong) itu.
Repot memang. Sampai-sampai seorang Presiden Joko Widodo urun rembug mengklarifikasi.
Saat kunjungan ke PT Pindad di Bandung, Selasa 19 September 2023 bersama si "korban hoaks" Prabowo Subianto, ada wartawan menanyakan "kebenaran faktual" tentang peristiwa "mencekik seorang wakil menteri" di sidang kabinet itu.
Menurut Prabowo, lha bertemu saja belum pernah dengan wakil menteri tersebut. Tambah lagi menurut Presiden Joko Widodo "Pak Prabowo sekarang sabar kok..." Lalu disambut derai tawa mereka semua.