Ironi Warga Miskin Jakarta: Mesti Bayar Air 10 Kali Lipat Dibanding Hotel Bintang Lima!
Oleh: Andre Vincent Wenas
"Water is the driving force of all nature." -- Leonardo da Vinci.
Bertepatan dengan Hari Air Sedunia yang jatuh pada tanggal 22 Maret 2021 kita semua diajak untuk merenung sejenak tentang betapa esensialnya air bagi kehidupan 7,7 milyar umat manusia sedunia. Hari Air sedunia ini diperingati sejak 1993 lalu.
Namun kita juga mesti waspada, ada sinyalemen tentang krisis air global! Data UN Water dari PBB menunjukkan bahwa saat ini 1 dari 3 orang hidup tanpa bisa memenuhi pasokan air minum dengan aman.
Bahkan sudah diprediksi, pada tahun 2050 nanti, bakal ada sekitar 5,7 miliar orang tinggal di daerah yang kekurangan air sedikitnya selama satu bulan dalam setahun. Ini peringatan yang wajib diantisipasi oleh semua pemerintahan di dunia.
Pertumbuhan jumlah penduduk (populasi) yang semakin padat di mana-mana. Kebutuhan sandang, pangan dan papan memaksa industri dan pertanian untuk  bekerja lebih keras (lebih efektif dan lebih efisien) lagi dalam skala yang semakin besar. Dan upaya itu semua (industri dan pertanian) butuh pasokan air.
Singkat cerita, semangat pembangunan yang berkelanjutan itu senantiasa butuh pasokan air (bersih) yang cukup dan juga berkelanjutan.
Bahkan PBB pun percaya bahwa ketersediaan air (bersih) dan sanitasi  yang cukup merupakan prasyarat dari pengentasan kemiskinan, untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, serta -- tentu saja -- pelestarian lingkungan hidup.
Bayangkan saja, untuk hal yang sederhana, dalam kegiatan seputar MCK (mandi-cuci-kakus), tanpa air apa jadinya?
Sementara itu, di Jakarta terjadi situasi ketimpangan sosial yang ironis serta menyayat hati. Juga menyangkut soal air. Apa soalnya?
"Warga miskin di Jakarta harus membayar air bersih 10 kali lipat lebih mahal daripada air bersih di hotel bintang 5," begitu kata Anthony Winza, dari Fraksi PSI di DPRD DKI Jakarta barusan.
Misalnya di Kecamatan Koja, Jakarta Utara, dimana warga miskin yang belum mendapatkan akses PAM harus membayar Rp 125.000 per meter kubik untuk membeli air bersih dari penjual keliling. Sementara tarif PDAM untuk hotel bintang 5 saja hanya sebesar Rp 12.500 per meter kubik.
Warga miskin Jakarta ini terpojok oleh kondisi sosialnya dan tidak punya pilihan, sehingga mereka terpaksalah membayar air hampir 10 kali lipat lebih mahal daripada penikmat hotel bintang 5 itu
Ini tanggungjawab siapa? Ya siapa lagi kalau bukan Pemprov DKI Jakarta. Ia adalah eksekutif yang diberi kepercayaan untuk mengurus hajat hidup warga Jakarta.
Sayangnya, saat ini Pemprov DKI yang hanya menganggarkan instalasi air bersih sebesar Rp 200-an miliar per tahun. Bandingkan dengan dana Formula-E yang hampir seribu milyar dan sedang raib tak berbekas sampai sekarang!
Yang mana peruntukkannya yang lebih esensial bagi warga Jakarta? Air bersih, atau cerita kosong tentang balapan mobil listrik Formula-E? Apakah kasus Formula-E ini bakal jadi warisan utang dari Anies Baswedan kepada penggantinya nanti? Walahuallam.
Menurut pandangan Anthony Winza, sebetulnya Pemprov DKI Jakarta butuh dana sekitar Rp 28 trilyun kalau mau membangun instalasi air bersih yang bisa memenuhi kebutuhan segenap warga Jakarta.
Jadi, hitugan sederhananya, kalau anggaran air bersih cuma Rp 200-an milyard per tahun, maka butuh 100 tahun agar segenap warga Jakarta bisa menikmati air bersih.
Berdasarkan data dari PAM Jaya, hingga kini baru sekitar 60% keluarga Jakarta yang punya akses saluran air bersih langsung.
Dan baru pada tahun 2023 cakupan air bersih ini bisa mencapai 82%.
Maka, jika isu soal air bersih ini memang dianggap penting dan jauh lebih esensial bagi kehidupan warga, maka seyogianyalah Gubernur DKI Anies Baswedan memprioritaskannya. Dan parlemen Jakarta mestinya dengan keras memperingatinya terus menerus.
Percayalah, pengadaan air bersih bagi warga itu jauh lebih menyegarkan dan masuk akal, ketimbang cuma mendengar cerita kosong soal balapan mobil listrik yang -- de facto -- sudah "menghabiskan" dana hampir setrilyun!
23/03/2021
*Andre Vincent Wenas*, Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H